4 bulan sebelumnya.
"Iza!"
Panggilan lantang itu menyentak Iza yang sedang melamun. Dia pun menoleh ke belakang dan mendapati salah satu teman kelasnya-Yudhi-yang duduk tepat di baris dekat jendela.
"Apaan?" tanya Iza.
"Mata lo minus?" Yudhi melontarkan pertanyaan yang membuat Iza menggeleng.
"Habis ini pelajarannya Pak Bambang. Lo tau, kan, kalau pas jam pelajaran bapaknya pasti papan tulis bakal penuh. Nah, gue udah nggak lihat kalau dari kursi yang di deket jendela itu karena tulisannya Subhanallah. Boleh tuker nggak Za? Kacamata gue kemarin patah, hehe." Yudhi kemudian membawa tasnya ke hadapan Iza yang duduk di barisan paling depan.
Iza menoleh ke Septia, teman sebangkunya yang sedang asik bercerita dengan Asti, gadis yang duduk tepat di belakang mereka. "Sep, gue pindah ya?" tanyanya, minta izin dulu.
Sibuk bercerita, Septia mengangguk saja. Yudhi dan Iza pun bertukar posisi duduk.
"Tapi pas jamnya Pak Bambang aja ya Yud!" seru Iza ketika duduk di kursi Yudhi yang semula, tepatnya di barisan samping jendela yang menghadap ke koridor depan perpustakaan lantai dua.
"Sampai kacamata gue udah ganti baru, boleh?" tawar Yudhi dengan nada memohon, "Please...."
Turut iba, akhirnya Iza mengangguk saja.
Gadis itu segera meraih ponselnya dari saku, ingin mengutak-atiknya, mumpung kelas sedang mendapatkan jam kosong.
Iza berulang kali membuka Instagram dan Facebook, memastikan tidak ada kiriman terbaru dari orang yang spesial akhir-akhir ini.
Ya, Iza sedang dalam tahap 'suka dengan seseorang'. Anehnya, orang yang disukai bukanlah orang yang kenal baik dengannya, melainkan orang yang satu SMP dengannya dulu.
Iza dan orang itu tak saling kenal, mereka hanya sering bertemu ketika di kantin SMP, di ruang piket, atau sepulang sekolah.
Tiba-tiba terdengar bunyi gedebum dan kursi yang tergeser-geser, membuat Iza menyadari bahwa guru sudah masuk kelas. Dengan tergesa gadis itu memasukkan ponselnya ke dalam laci.
"Loh, Iza?" sapa seorang laki-laki yang menjadi teman duduk Iza sementara ini. Sembari melewati kursi Iza untuk menuju kursinya ia menebak, "Oh, gara-gara kacamata Yudhi patah ya?"
Iza tersenyum. "Iya tuh, katanya patah Ren."
Laki-laki yang dipanggil Ren itu hanya terkekeh seraya menyandarkan punggungnya pada dinding samping kursi setelah duduk. "Tenang aja Za, nggak usah keliatan kayak orang takut gitu. Gue anak yang bisa diajak kerja sama kok. Pak Bambang ngadain ulangan dadakan, kita kerja sama." Iza hanya tertawa kecil menanggapinya.
Jam pembelajaran pun berlalu dengan posisi Iza yang masih menjadi teman duduk laki-laki berwajah blasteran dan beriris mata biru itu. Iza sudah cukup akrab dengan lelaki satu ini karena mereka adalah tetangga yang tinggal di dalam satu kompleks perumahan.
Namanya Renandhika Davio Mahendra. Iza sudah tahu namanya semenjak laki-laki itu pindah ke kompleks perumahan yang sama dengannya tiga tahun lalu. Hanya saja, hubungan mereka sebatas teman sapaan dan teman kelas, jauh dari kata teman baik.
Bel istirahat yang berdering membuat Renandhi berdiri lalu berteriak ke arah Yudhi dan teman-temannya untuk menyerbu kantin.
Sepertinya Iza harus terbiasa dengan teriakan menggelegar itu agar bisa bertahan duduk di kursi ini sampai Yudhi dapat kacamata baru.
"Eh Iza permisi, gue udah nggak bisa lewat ala-ala cewek iklan WRP. Tiffany terlalu majuin mejanya tadi, nggak enak kalau gue mundurin lagi," kata Renandhi yang ingin beranjak dari kursi, tetapi terhalang kursi Iza. Nasib siswa yang duduk di ujung dan samping dinding memang begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Priority
Teen FictionIza si cewek yang haus cinta tak disangka dapat menyukai cowok seperti Alifahrian Fardendra. Banyak yang bilang Alif itu cowok biasa aja, tidak jelas, bahkan jelek secara fisik dan attitude. Namun Iza tidak peduli dengan itu, seperti kena pelet. Tak...