24 - Harus Mengerti

1K 121 6
                                    

Di malam yang dingin ini Iza akan mengatakan yang sejujurnya kepada kedua orang tuanya. Tekadnya untuk pindah sekolah sudah bulat, ia sudah memikirkan banyak macam kosakata yang akan dikatakan kepada ayahnya sebagai alibi.

Ayah, ibu, dan adiknya kini berkumpul di ruang keluarga menonton sebuah acara televisi. Iza langsung bergabung, namun bungkam, menunggu waktu yang tepat untuk berbicara.

"Oh ya mah, masa tadi Kak Iza banting pintu." Tiba-tiba Nabilla memulai pembicaraan dengan melaporkan apa yang dilakukan Iza. "Terus, tadi kan aku ke rumah Keffa. Masa Keffa diceritain Kak Renandhi kalau Kak Iza ngamuk-ngamuk di rumah."

Wina, ibunya Iza menatap suaminya dengan dahi mengernyit. "Gara-gara apa nak?"

Iza menunduk. "Udahlah, nggak usah dibahas lagi."

"Gara-gara Kak Iza dibully sama satu teman kelas. Kayaknya sih penyebabnya cowok-cowokan gitu, tadi aku nanya Kak Gea langsung yang kebetulan lewat di warung depan kompleks." Nabilla langsung menunjuk wajah Iza. "Nih, kelihatan banget kayak orang habis nangis."

"Ya ampun cuman gara-gara cowok aja ternyata," ujar Rudin, ayah Iza, setengah terkekeh. "Nilai mu itu dulu yang ditinggikan. Lulus sekolah dulu, kuliah, kerja, perbaiki iman baru cari cowok, baru nangis-nangisan gara-gara cowok. Masih minta uang orang tua aja belagu."

Iza semakin menunduk.

"Hayo, siapa nih cowok yang buat Kak Iza galau?" Nabilla kali ini terlihat makin menyebalkan.

"Renandhi?" tanya Wina, Iza menggeleng.

"Bukan mah. Kak Renandhi udah sama ... Kak Gevand," jawab Nabilla.

Rudin tersenyum miring. "Ayah jadi inget masa-masa sekolah yang perlu bantuin orang tua bertani dulu. Mana sempat nyari cewek--"

"Iza pengin pindah sekolah," kata Iza cepat sambil menampakkan wajah sedihnya, "nggak betah di Panca Dharma."

"Eh?"

"Apa?"

"Loh?" Serempak ketiga anggota keluarga Iza menatapnya heran.

"Sejak kapan ayah ngajarin kamu untuk nggak bersyukur?" Rudin berdecak berkali-kali. "Hadeh, hadeh, Iza ... iza. Selalu aja kamu yang punya masalah, selalu ngeluh, selalu nggak nyoba cari jalan keluar. Umur mu mau enam belas loh, berpikir dewasa dikit lah! Pikirin juga kalau pindah bakal makan biaya. Panca Dharma itu sekolah yang bagus, favorit ke dua di satu kecamatan, deket rumah lagi."

"Udah lah, kalau cuman masalah sama cowok abaikan aja," sambung Wina, "jangan kayak orang yang mau meninggal begitu, nanti kamu diketawain."

"Yaitu, Kak Iza bener-bener keliatan kayak orang bego," ujar Nabilla terkekeh, "kata Keffa, Kak Renandhi ketakutan kalau Kak Iza nangis terus-terusan mendekati depresi terus gila habis tuh bunuh diri."

"Lo bisa jaga omongan nggak sih?!" sergah Iza menatap intens adiknya. "Lo yang masih kecil nggak usah sok mau ngatur gue. Lo juga kalau ngalamin hal yang sama pasti kayak gue, bahkan mungkin lebih alay."

"Udahlah, udah," Rudin menengahi.

"Nggak lah, gue kan nggak kayak lo, manja!" Nabilla membalas.

"HEH, udah!" Rudin mulai menaikkan volume suaranya.

Iza akhirnya beranjak dari sana menuju pintu utama rumah.

"Mau ke mana kamu?" Wina juga ikut menyusul anak pertamanya. "Udah malam, gerimis lagi, jangan keluar!"

"Nyari angin biar nggak galau." Iza yang sudah mengenakan hoodie kelasnya menarik kenop pintu. "Nanti Iza balik lagi." Ia menutupnya pelan.

"EH, IZA!"

Perfect Priority Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang