Hujan turun deras di jam pulang sekolah, membuat seluruh siswa-siswi terpaksa menunggunya hingga reda. Sebagian dari mereka juga ada yang nekat menembusnya dengan alasan ingin cepat sampai ke rumah. Tak terasa, satu jam pun berlalu dan hujan perlahan menjadi gerimis yang sepertinya akan lama berhenti.
Untung saja hari ini adalah hari terakhir di sekolah alias hari pembagian rapot, sehingga semuanya bebas untuk membuang waktu mereka di sekolah. Ada yang sibuk ke kantin, ke perpustakaan untuk menggosip, sibuk bercerita di kelas, dan bahkan ada yang menunggu di ruang piket. Wajah ceria mendominasi di hari yang gelap ini, berbanding terbalik dengan perasaan mereka.
Iza menoleh ketika mendapat panggilan Renandhi sebelum menembus gerimis menuju gerbang utama. "Apa?"
"Mau bareng kagak?" tawar Renandhi.
"Aduh, gue udah nerima tawaran pulang bareng dari Gea," ujar Iza, "nggak enak deh kalau nolak dia."
"Lo udah baikan ya sama dia?" Renandhi tersenyum semringah. "Wau, hebat juga lo kelarin masalah."
"Oh iya dong Ren. Gue udah maap-maapan sama Gea, Yudhi, bahkan Alif. Lo gimana? Masih ada dendam kesumat sama Gevand? Bulan depan dia udah nggak ada di sini lagi kok. Tenang aja. Gue berusaha tenang banget kalau dia ngancem gue lagi, karena bentar lagi dia bakal minggat." Iza membalas senyuman Renandhi dengan lebih semringah hingga matanya menyipit.
"Kalau dia minta maaf, ya InsyaAllah gue bakal maafin. Kalau pun nggak ada ya terserah, gue nggak mau minta maaf duluan." Renandhi menatap sekumpulan motor yang berusaha keluar dari parkiran. "Karena dia udah buat gue begini, susah rasanya. Apalagi kalau kalian, temen-temen gue yang jadi bahan ancemannya dia. Gue nggak sudi banget buat minta maaf duluan."
"Dia nggak pernah terror lagi kok Ren, aman terkendali semenjak gue masuk perguruan bela diri. Btw, masih sakit ya muka lo?"
"Masih, agak mendingan sih."
"Oke, cepet sembuh ya. Gue duluan!" Iza pun menerobos gerimis untuk menghampiri Gea yang sudah mengambil motornya. Kali ini mereka sepakat untuk pulang bersama.
Renandhi iri melihat Iza yang sepertinya sudah merasa lega dengan seluruh masalah yang telah diselesaikannya. Lalu bagaimana dengan dirinya? Kapan rasa gelisah akan pembalasan Gevand itu berakhir?
* * * *
"Renandhi!" panggilan itu menyentak Renandhi yang baru saja keluar dari gerbang utama dengan motornya. Hujan yang perlahan deras lagi membuatnya terburu-buru.
Gevand berdiri tepat di depan gerbang dengan sebuah buku yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari air hujan. "Anter gue dong, ampe perempatan sini aja. Dennis udah nungguin di sana."
Renandhi terkejut melihat Gevand yang sangat santai meminta tolong. Ia refleks menautkan alis dan terdiam sampai akhirnya Gevand berbicara lagi.
"Lo masih marah sama gue?"
Renandhi masih diam.
"Ayolah, gue udah nggak marah kok sama lo. Gue minta maaf udah buat lo kayak begitu. Maaf banget lah Ren. Banget, banget, banget maafnya. Gue waktu itu hilang kendali dan lo tahu hari itu gue lagi dibawah tekanan. Jadi ngertiin dan maafin gue lah. Habis ni, lo nggak bakal lihat gue di sekolah ini lagi. Gue bakal pindah dan mulai hidup baru. Lo nggak ada niatan maafin gitu?"
Renandhi membuang muka lebih memilih menatap jalan dan mempertimbangkan permintaan Gevand. Perempatan yang dimaksud itu cukup jauh dari rumahnya. Apakah Gevand benar-benar meminta tolong padanya? Itu jauh. Renandhi mulai berpikir seaneh mungkin terhadap Gevand. Bagaimana jika ada rencana jahat dibaliknya?
Astaghfirullah, gue suudzon! tegur batin Renandhi.
"Ren!" Gevand mulai berlutut dan berhasil membuat Renandhi melotot. "Maafin gue."
Renandhi langsung menarik Gevand untuk berdiri. "Berdiri Gev, berdiri!" serunya dengan menatap Gevand. "Denger, gue udah maafin lo semenjak lo ngerasa sesal sama apa yang lo perbuat ke gue oke? Gue nggak papa. Gue udah maafin lo. Lo nggak perlu bertingkah kayak orang yang ngemis maaf, karena gue nggak sejahat itu. Manusia yang lebih buruk daripada iblis dan Fir'aun adalah manusia yang tidak mau menerima permintaan maaf dari sesamanya. Gue maafin lo. Paham?"
Gevand mengangguk lalu tersenyum. "Paham kok. Jadi, kita temen nih sekarang?" tanyanya sambil naik ke atas motor Renandhi.
"Iya. Tapi lo janji jangan ngulangin perbuatan buruk lo itu lagi," ujar Renandhi sambil menjalankan motornya.
"Iya, janji gue nggak bakal ngaku-ngaku lo pacar gue lagi. Kan bercanda doang."
"Bercanda juga perlu tahu perasaan!" Renandhi membentak tiba-tiba. "Aduh maap, gue kebablasan ngebentak. Akhir-akhir ini gue sering ngebentak."
"Alah, nggak papa. Gue tahu kok, gue paham, kalau bercanda juga ada ukurannya, nggak boleh berlebihan." Gevand menunjuk sebuah mobil yang terparkir tepat di perempatan tak jauh dari mereka.
Namun, tiba-tiba kumandang adzan zuhur terdegar di masjid terdekat dengan mereka, membuat Renandhi refleks menurunkan laju motornya. "Gimana kalau kita salat jemaah dulu?"
"Nggak bisa. Gue buru-buru banget. Nanti keburu Dennis ninggalin gue," tolak Gevand mulai panik.
"Tapi salat itu--"
"Ayo dong Ren!" Paksaan Gevand itu membuat Renandhi berdecak sebal dan pada akhirnya tetap melanjukan motornya menuju perempatan tersebut.
Gevand turun dari motor dengan semangat. "Makasih ya, teman baik deh lo," katanya sambil tersenyum manis, "oh ya, maaf ya sekali lagi." Ia menjulurkan tangannya untuk bersalaman.
Dengan senang Renandhi membalas salam Gevand yang sangat kuat. "Iya iya."
DUG!
Tiba-tiba kepalan tangan Gevand mendarat tepat di tulang pipi Renandhi hingga ia terhuyung dan jatuh bersama motornya. Lalu Gevand mengeluarkan senjata tak terduga berupa sebuah pisau untuk menikam Renandhi dengan tatapan psycopathnya. Renandhi hanya mampu menahan dengan tangan kanan ketika pisau sudah diarahkan.
Tepat saat itu sebuah mini bus dengan kecepatan tinggi datang dari arah sekolah, tak jauh dari mereka.
Terkejut melihat Renandhi yang terjatuh dan akan dilukai, supir bus menurunkan laju kendaraannya dengan susah payah membuat teriakan melenngking terdengar sepanjang jalan. Semua siswa di dalam tentunya panik.
Keadaan itu berhasil menyadarkan Gevand sementara semuanya keluar dari mini bus yang berhasil berhenti tepat di belakang motor Renandhi.
Tak punya waktu, Gevand pun hanya menggores tangan Renandhi dan berlari ke arah mobil sebelum siswa-siswi itu mengejar. Namun ia kembali dengan pisau yang terangkat, membuat segerombolan siswa yang mengejarnya itu berbalik arah. Gevand menusukkan pisaunya tepat ke ban depan motor Renandhi lalu berlari lagi ke mobilnya dan berhasil kabur.
Apa yang Renandhi lakukan saat itu? Hanya bisa diam dan menyesal.
Menyesal telah memilih mengantar Gevand daripada menjalankan salat zuhur terlebih dahulu.
Renandhi hanya mampu beristighfar di tempat sembari menenangkan dirinya. Sayatan yang menghasilkan luka itu sama sekali tidak terasa sakit baginya. Yang sakit hanya hatinya karena telah dengan bodoh menuruti permintaan musuhnya satu itu dan menunda salat.
* * * *
= Perfect Priority =
Vote dan komentarnya jangan dilupa. Rifannah butuh dukungan kalian :)

KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Priority
Novela JuvenilIza si cewek yang haus cinta tak disangka dapat menyukai cowok seperti Alifahrian Fardendra. Banyak yang bilang Alif itu cowok biasa aja, tidak jelas, bahkan jelek secara fisik dan attitude. Namun Iza tidak peduli dengan itu, seperti kena pelet. Tak...