"Asli, nggak jelas banget dah hidup lo Ren," ujar Daniel seraya fokus memangkas rambut Renandhi.
Yang mendapat respons seperti itu menghela napas kasar. "Bayangin kak, ternyata selama ini dia itu bilang ke temen-temennya kalau gue itu pacarnya. Biar gue dikira gay juga, biar reputasi gue rusak di mata kakak kelas, dan sekarang satu sekolah nganggap gue begitu. BAYANGKAN! Gue nggak bisa ngelak sama sekali, nggak ada yang percaya, bahkan temen sekelas gue nggak ada yang berani bantu ngelak atau nanya soal kebenarannya."
"Emang lo beneran nggak gay?" David yang ikut menyimak sedari tadi itu menyeletuk.
"ENGGAK LAH!"
"Buktinya?" Ardhika menambahkan.
"Gue suka kok sama cewek," jawab Renandhi penuh rasa yakin.
"Siapa?"
"Privasi lah."
"Terus kenapa waktu Gevand ke sini malam tahun baru pas ditanyain soal hubungan kalian, lo biasa aja? Seolah info itu bener gitu," celetuk Maudy.
"Yah kan lo taulah ya, Gevand si banci itu anaknya suka bercanda. Selama gue baikan sama dia, dia memang sering bercanda begitu. Manggil gue beb-lah, sayang-lah, tapi itu nggak nyata. Dia sok manis ke gue tu cuma bercanda. Lo nanyain hubungan gue sama dia, dia juga bakal jawab bercanda. Gue sih awalnya iya-iya aja.
Tapi, secara nggak langsung itu berhasil ngubah persepsi kalian tentang gue. Secara perlahan kalian bakal ngira kalau nyatanya gue begitu.
Dan parahnya lagi, dia di depan gue bersikap biasa aja walaupun tetap panggilannya gitu, tapi pas di belakang gue? Dia bener-bener ngeklaim gue pacarnya. Jahat nggak sih itu? Atau bercandanya berlebihan? Atau gue aja yang suudzon? Atau emang dia sengaja balas dendam?"
"Dendam?" Raffar kini bersuara. "Lo dulu pernah berantem sama dia?"
"Pernah!"
"Woh santai Ren, santai!" David mengambil kardus lalu mengibaskannya ke Renandhi yang mulai terlihat emosi membahas musuhnya yang satu itu, membuat Daniel setengah mati menahan tawa selama memangkas rambutnya. "Eh api woi, ada api di kepala Renan! Raffar, Ardhi, ambil kipas angin yang gede sana!"
"Kayak mana ceritanya?" Sheila kini yang bertanya.
Daniel yang selesai memangkas rambut Renandhi langsung memberikannya cermin. "Selesai! Selamat menikmati masa-masa botak!" Ia pun melepas kain yang menutupi tubuh Renandhi dan membereskan peralatan yang dipakai.
Renandhi meringis menatap wajahnya yang berubah apalagi dengan gaya rambut yang sangat tidak ia sukai: botak.
"Cerita aja dulu Ren," ujar Daniel yang kemudian mengambil kursi dan ikut medengarkan curahan hati seperti yang lain, "bersihinnya nanti."
"Yah, intinya gue dulu sama dia pernah terlibat 'suka segitiga'. Dia bilang kalau dia gay dan dia suka sama gue. Ternyata tujuannya biar gue nggak jadian sama Rif--anu, cewek itu. Tapi yah, namanya dulu pas kelas delapan masih labil ya gue pacaran aja deh sama tu cewek--"
"Siapa sih nama ceweknya?" Kezia akhirnya menyeletuk.
"Privasi!"
"Ah, itu cuma masa lalu, disebut aja kali, nggak usah diprivasi," ujar David.
"Ya udah ya udah! Namanya Rifda," tutur Renandhi, "puas?"
Semuanya mengangguk. "Nah, gitu dong."
"Jadi gue jadian sama tu cewek di belakang Gepan. Awalnya jalan lancar sampe akhirnya gue kecelakaan gara-gara terlalu buru-buru jemput Rifda. KAK MAUDY NGGAK USAH KETAWA! Gue bener-bener ngerasa goblok saat itu juga, demi cewek. Gue juga mulai ngerasa rugi pacaran karena itu buat gue nundain sholat, diemin ortu, jarang di rumah, jarang bantu ortu, yah pokoknya merugi lah ya, ngabisin waktu doang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Priority
Fiksi RemajaIza si cewek yang haus cinta tak disangka dapat menyukai cowok seperti Alifahrian Fardendra. Banyak yang bilang Alif itu cowok biasa aja, tidak jelas, bahkan jelek secara fisik dan attitude. Namun Iza tidak peduli dengan itu, seperti kena pelet. Tak...