Daniel membuka pintu rumahnya lima detik setelah diketuk. Sehabis menjawab salam, ia menyeruput teh hangat dalam genggamannya tanpa melihat wajah siapa yang datang ke rumahnya.
"Kalau mau minum duduk dulu kak," tegur Renandhi yang membuat Daniel tersedak.
"Kenapa lo ke sini?" tanyanya terkejut ketika mendongak. "Jauh loh."
"Pengin minta nasihat," ujar Renandhi dengan sedikit rengekan. Ia memerlihatkan luka di tangannya dan pesan baru dari Gevand pada ponselnya. "Gue butuh banget saran dari lo. Gue udah capek."
Dengan cepat Daniel menarik Renandhi untuk masuk ke dalam rumahnya yang kini sudah ramai dengan anggota keluarga. "Lo kudu kuat lah, cobaan segini aja tuh."
"Tapi gue hampir mati!"
"Lah kok bisa? Ayo cerita kalau begitu."
* * * *
"Assalamu'alaikum, Ren!" Yudhi berjalan masuk ke kamar Renandhi yang terlihat rapi. Teman baiknya itu duduk di salah satu meja dengan headphone yang menempel di telinga. Yudhi menghela napas berkali-kali, pantas saja Renandhi tidak mendengar panggilannya dari luar rumah hingga akhirnya ibu Renandhi menyuruhnya masuk. Yudhi menepuk bahu Renandhi sekilas, membuatnya refleks menoleh tanpa membuka headphonenya. "Ngapain?"
Renandhi diam sedetik. "Shadaqallahul-'Adzim." Ia pun membuka headphonenya. "Lagi ngebuat hati sama jantung gue lembut. Akhir-akhir ini keras, kayak nggak ada niatan buat hidup lagi."
"Sorry." Yudhi menarik kursi untuk duduk di samping Renandhi. "Gevand masuk tempat rehabilitasi kan?"
Renandhi mengangguk. "Iya gue tahu."
"Gara-gara apa sih?" tanya Yudhi yang menampakkan wajah herannya. "Gue denger-denger dari Bara katanya gara-gara dia kecanduan miras."
"Entahlah, kurang tahu juga gue. Lagi males ghibah," jawab Renandhi malas.
"Ya udah kalau begitu, semoga Gevand dapet hidayah pas udah pindah ke sekolah SMA Harapan Bangsa 2, Aamiin." Renandhi mengernyit memerhatikan Yudhi. "Kenapa Ren? Kan biar si Gevand nggak teror lo lagi."
Renandhi tersenyum lalu mengangguk. "Aamiin, dah."
Tiba-tiba seorang gadis mengetuk pintu kamar Renandhi, mengajak keduanya keluar untuk duduk di ruang tamu dan memakan kue coklat yang ia bawa. Itu Iza tentunya, gadis yang biasa keluar masuk rumah Renandhi seperti anggota keluarga.
Iza terkekeh. "Itu buatan nyokap gue. Lagi pengin bagi-bagi ke tetangga katanya."
Respons Renandhi hanya berupa anggukan kepala, tatapannya terus tertuju ke bawah, membuat Iza dan Yudhi serentak merasakan hal yang sama: iba.
Iza berdeham untuk memecah ketegangan yang ada. "So, lo ada rencana apa liburan ini? Lo bakal ikut liburan bareng anak-anak sekelas ke pantai minggu depan?" tanyanya ke Renandhi.
Yang ditanya hanya menggeleng.
Yudhi pun berdecak. "Aelah Ren, lo ngapa sih? Habis dirukiyah? Tumbenan amet diem-diem baek begini. Nggak biasa deh, aneh, nggak cocok." Renandhi hanya tersenyum miring membuat Yudhi menghela napas kasar. "Oh iya Ren, soal kejadian lo minggu lalu yang hampir ditikam Gevand. Lo berhasil banget jelasin rasa penyesalan lo karena nurutin permintaan dia, nah itu jadi ngingetin gue sama permainan yang lo buat, Perfect Priority itu."
Iza langsung menepuk paha Yudhi kencang. "Ih, nggak tau waktunya. Nggak lihat si Renandhi lagi kenapa?!"
Renandhi terkekeh. "Oh iya ya, gue hampir lupa, lo belom jawab kan Yudh? Ya udah, jawab aja sekarang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Priority
Teen FictionIza si cewek yang haus cinta tak disangka dapat menyukai cowok seperti Alifahrian Fardendra. Banyak yang bilang Alif itu cowok biasa aja, tidak jelas, bahkan jelek secara fisik dan attitude. Namun Iza tidak peduli dengan itu, seperti kena pelet. Tak...