Seminggu sudah Iza duduk di bangku dekat jendela kelas. Ia merasa nyaman. Selain karena pemandangan depan jendela bagus, ia juga sering melihat Alif lewat bersama teman-temannya. Keuntungan yang mengesankan.
Sayangnya, sampai sekarang Iza hanya bisa menjadi pengagum rahasia seperti di novel yang sering dia baca. Sesekali dia berpikir, kapan dia akan maju dari yang sekarang jika terus seperti ini? Kapan status pengangum rahasia itu bisa berubah? Setidaknya hanya menjadi teman.
Iza pernah saling berbalas pesan ke Alif di Instagram. Membahas soal karya Alif dalam bidang fotografi dan editing. Pembicaraan lewat media sosial itu hanya berlangsung sementara. Bahkan, Alif tidak pernah tahu wajah dan kelas Iza, sepuluh IPA dua. Yang Alif tahu hanya keahlian Iza dalam membuat graphic segala bentuk, bahkan vector.
Ya, Iza memang jarang meng-upload foto dirinya di media sosial. Jika suatu saat dia meng-uploadnya, beberapa hari kemudian akan dihapusnya.
"WOI!" Seseorang berteriak sambil menepuk keras meja Iza. "Pagi-pagi udah ngelamun aja. Nggak sarapan?" Renandhi segera duduk di bangkunya. "Setahu gue, nyokap lo itu orangnya disiplin sekaligus perhatian Za. Nggak mungkin, kan, sarapan anaknya aja nggak diperhatiin?"
Kebetulan, lelaki yang memiliki bulu mata lentik serta iris mata biru adalah tetangga Iza sejak tiga tahun yang lalu. Masih satu perumahan, namun rumah Renandhi lebih jauh masuk ke dalam kompleks dibandingkan dengan rumah Iza yang terletak di barisan depan. Ia sering berbincang dengan ibunya Iza, meskipun hanya sebentar.
"Apa sih lo?" Iza menyenggol bahu Renandhi dengan sikunya. "Sok peduli amet elah, pake bawa nyokap gue lagi."
Renandhi menyengir, "Hehe, lagi mode jinak Za. Tinggal bilang aja sih kalau lo laper. Sebagai tetangga yang baik hati-"
"Dan nggak sombong, ya ya ya Nan, gue tau lo baik," sela Iza, "makasih tawarannya. Pas keadaan genting aja minta karena gue bukan temen matre."
"Wah mantap! Mungkin ini memang takdir ya Za. Yudhi pindah ke depan, lo pindah ke sini," ujar Renandhi sambil mengutak-atik tasnya, "gue bersyukur banget, asli."
"EH TEMEN-TEMEN!" Suara Septia terdengar melengking dalam ruangan kelas. "Jawaban PR fisika nomor tiga A berapa ya?!"
Renandhi meletakkan buku tulisnya di atas meja, membuka, dan menulis sesuatu di sana. "Za, lo udah ngerjain PR?"
Iza mendelik. "Hm? Emang ada PR?" tanyanya tanpa ada ekspresi panik sedikit pun.
"Nggak jadi bersyukur deh gue." Renandhi langsung memberikan buku tugasnya. "Gue kira lo anaknya rajin. Sebagai contoh, ngerjain PR gitu."
"Cih, gitu amet Ren, gampang banget lo ketipu." Iza mengeluarkan buku tugasnya. "Sini bukunya, kita cocokin jawaban."
"Bersyukur lagi deh gue." Renandhi bersandar pada dinding di sebelahnya. "Betah-betah ya Za duduk di sini. Gue males ama Yudhi. Apa-apa minjem, nyalin, tethering, duh melarat gue."
Iza menatap Renandhi dengan cengiran lebar. "Oke! Gue juga seneng duduk di sini."
Duk!
Tiba-tiba bunyi hentakan pinggul seseorang dengan meja terdengar, membuat keduanya menoleh ke seorang gadis yang baru lewat.
"Aw, itu pasti sakit!" seru Renandhi.
"Tiff, seberapa sakit?" Iza berdiri menghampiri Tiffany yang perutnya terbentur ujung meja Yahya, meja depan Iza. "Lo nggak pa-pa Tiff?"
"Sakit, sih. Tapi gue nggak papa, hehe, gue nggak papa, serius," ujar Tiffany sambil berjalan ke meja di belakang Iza.
"Makanya hati-hati, soalnya cantik itu harus dijaga," celetuk Renandhi yang entah kenapa hari ini bersemangat sekali berbicara panjang-lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Priority
أدب المراهقينIza si cewek yang haus cinta tak disangka dapat menyukai cowok seperti Alifahrian Fardendra. Banyak yang bilang Alif itu cowok biasa aja, tidak jelas, bahkan jelek secara fisik dan attitude. Namun Iza tidak peduli dengan itu, seperti kena pelet. Tak...