25 - Permainan Baru

1K 107 6
                                    

"Gue suka sama lo," sela Renandhi begitu saja, membuat Iza menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam.

Beberapa detik kemudian baru Iza terkekeh, peka dengan maksudnya. "Ya, ya, ya gue tau."

"Masa? Sejak?!" Mata Renandhi seketika berbinar.

Iza bingung melihat ekspresi Renandhi. Apa mungkin ia harus menyarankan teman sebangkunya itu untuk ikut ekskul teater? Renandhi cocok menjadi aktor. "Sebentar Ren. Suka yang lo maksud ini, suka sebagai temen sebangku kan? Ya gue taunya pas lo nyuruh gue untuk betah duduk di samping lo lah."

Cengiran Renandhi seketika hilang, tergantikan dengan wajah datar tanpa ekspresi. "Btw, gue bukan gay. Sumpah!"

"Loh?" Iza melotot. "Kata mereka lo anu. Terbukti dari lo yang nggak pernah ngelak kalau dibilang ga--ehm, gitu?"

"Nggak ada temen gue yang nanya itu secara langsung, bahkan ngejek. Selama ini mereka cuma ngira-ngira di belakang gue, tanpa penuturan gue. Gua kira lo sama kayak mereka yang nggak mau denger penuturan gue dulu dan nggak mau tanya langsung. Jadi yah, gue biarkan aja." Renandhi menyilangkan tangan di depan dada.

"Tapi lo nggak sama kayak cowok yang lain. Cewek cantik lewat, respons lo biasa aja, seakan nggak ngaruh." Pembicaraan mereka mulai membuat Iza tertarik untuk tetap di sana. "Giliran cowok, lo respons, terus lo puji. Jadi gue mikirnya sama kayak mereka."

"Itu namanya jaga pandangan ke lawan jenis. Kalau muji sesama jenis, try to think positive, gua muji ciptaan Tuhan! Lo-nya aja yang kena efek ghibah temen sekelas. Gini ya, sebenarnya gue udah lama ngelak dari SMP tapi sama aja nggak didenger. Akhirnya gue capek jelasin, jadi gue diemin aja."

"Ya ampun Ren," ujar Iza, "tapi kok gua masih agak susah percaya ya?"

"Lo perlu percaya. Memang penuturan gue yang suka sama lo itu belom cukup?" Renandhi tak berhenti menatap Iza. "Selama ini sikap gue ke elo memangnya nggak bisa nyadarin lo, Za?"

Iza diam dan memilih untuk menatap kakinya.

"Za!" Renandhi berdiri di depan Iza. "Gue serius."

"Kenapa nggak bilang dari dulu sih Ren?" Akhirnya Iza merespons sehingga Renandhi dapat duduk lagi.

"Nggak tau, pengin aja nggak bilang," jawabnya sambil merapikan rambut.

Iza hanya menggelengkan kepala sambil menghela napas.

"Dah lah, nggak usah dipikirin, itu cuma suka-sukaan aja Za."

Iza berdiri dan merapikan hoodienya. "Kalau gitu gue balik deh, udah malam."

"Oh iya." Renandhi juga ikut berdiri. "Jangan lupa ganti prioritas ya, sholat lima waktu misalnya, ehehe."

Iza tersenyum. "Dah."

Mereka berdua akhirnya berpisah.

Sebelum melangkah lebih jauh, Renandhi berhenti. "Sebentar, Za!"

Iza berbalik. "Hm?"

"Jangan berubah." Kemudian Renandhi berlari dengan cepat ke rumahnya meninggalkan Iza yang setengah mati menahan senyum dan berusaha bersikap biasa saja.

Iza paham maksud dari kalimat itu, Renandhi memang tahu sikap Iza yang sebenarnya.

"Dasar Renan!" gerutu Iza sambil berjalan cepat menuju rumah dan lupa untuk menayakan hubungan Renandhi dengan Gevand.

* * * *

"Aish Iza nggak masuk!" keluh Tiffany dan Qifa begitu melihat kursi kosong Iza.

Perfect Priority Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang