26 - Rencana Alif

1K 111 10
                                    

Pintu kamar Iza terbuka lebar menghadirkan sosok ibunya yang sudah lengkap dengan pakaian kerja. "Iza, mama pergi dulu ya! Jangan lupa nyapu, ngepel, angkat jemuran, terus kalau ada paket, ambil aja uang di dalam lemari. Mama ada job ni, jadi kamu baik-baik ya di rumah. Kalau mau makan, masak sendiri, nanti mama datang lagi." Pintu kamar pun ditutup lagi dan Iza kembali meringkuk di dalam selimut.

Diam, hening, dan merenung adalah hal yang Iza lakukan di balik selimut hingga detik ini, sementara ponselnya terus berdering menandakan pesan masuk dari seseorang. Iza seringkali merasa heran dengan teman-temannya yang tidak mau memberinya sedikit waktu untuk menenangkan diri, mereka sungguh perhatian mengenai kabarnya hingga rela membawa ponsel ke sekolah meskipun itu dilarang. Namun, dibalik rasa heran itu, Iza juga bersyukur memiliki teman yang perhatian.

Ponsel Iza berdering lagi, kali ini seseorang memanggilnya. Kesal, Iza meraih ponselnya untuk menonaktifkannya namun sebelum itu ia sempat melihat nama pemanggil yang tertera di layarnya.

Aresha Afnadhila.

Sepertinya kakak sepupu sekaligus sahabat terbaiknya itu mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya. Gampang ditebak, pasti Aresha mendapatkan info tersebut dari Septia.

Terpaksa Iza menerima panggilan itu. "Halo? Ngapain lo nelepon?!"

"Za."

"Hm? Kenapa? Lo diculik memangnya? Kok ngomongnya pendek begitu, tumbenan."

"Iya. Lebih tepatnya HP gue mau disabotase sama--"

"Ah, lo kelamaan!" Terdengar suara seorang laki-laki di seberang sana, sepertinya ia merebut ponsel Aresha. "Halo Za."

Iza mengenal suara itu. "Hi ... Hidayat?"

"Ya. Alif titip pesen sama gue, dia mau bicara sama lo di kedai kakaknya Qifa sepulang sekolah, lo langsung aja ke sana," ujar Hidayat langsung ke inti, "dia sengaja bilangnya ke gue karena dia nggak mau sampai Gea tahu. Dia mau lo datang sendirian ke sana, ngobrol berdua."

"Gue ikut!" Aresha menyeletuk.

"Nggak bisa!" sergah Hidayat ke Aresha lalu balik mendekatkan ponsel ke telinga. "Oke Za, segitu aja, dah!"

"Eh tunggu dulu, dia nemuin gue dengan tujuan apa?"

Tit ... tit ... tit.

Sayangnya panggilan telah diputus. Iza benar-benar terkejut.

* * * *

"Udah lo kasih tau?" tanya Alif begitu Hidayat lewat di depan kelasnya. Tangannya kirinya terlentang menghalangi jalan Hidayat menuju ruang piket.

"Udah," jawab Hidayat sambil menyilangkan tangan di depan dada, "beruntung Aresha itu temen baik yang selalu satu kelompok sama gue pas kelas sembilan, jadi aman aja."

Alif menaikkan sebelah alisnya, menunjukkan rasa ketidakpercayaannya terhadap sepupunya itu. "Gimana Dita? Gimana kalau dia tau terus ngasih tau ke Gea."

"Dia nggak tau apa-apa." Hidayat menghela napas. "Lagian juga, Dita itu bukan cewek yang termasuk bubuhannya Iza. Katanya, di kelasnya itu terbagi jadi tiga bubuhan yang perempuan. Bubuhan Iza, bubuhan cewek gue, sama bubuhannya cewek lo. Kalau yang cowok sih satu kelas memang selalu satu kelompok."

Alif pun menganggguk. "Ya udah, gue percaya," katanya sambil menepuk bahu Hidayat.

"Lo juga, bodoh, mau aja pacaran sama cewek kayak Gea yang sensitif udah gitu posesif lagi,"

Alif menautkan alisnya. "Jadi lo sama aja kayak mereka? Lo mau gue--"

"Eh eh eh, sans dong my bro!" Hidayat langsung merangkul Alif dan menariknya berjalan. "Ayo ke parkiran bareng-bareng."

Perfect Priority Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang