Setelah terkejut dan memang harus menerima kenyataan, Iza akhirnya sadar bahwa berekspetasi terlalu tinggi semakin tidak baik untuk dirinya. Ia juga baru menyadari bahwa Tiffany adalah mantan dari Brevan.
Jadi yang selama ini selalu menjadi bahan bicara Tiffany dan Sonya bukanlah Alif, yang selalu disebut 'Wajah Psikopath' juga bukan hanya Alif, dan Tiffany memang tak memiliki rasa ke Alif.
Iza sudah suudzon, membuatnya merasa bersalah. Tiffany memang suka mengejek setiap laki-laki yang ada, bahkan ke Brevan sendiri dengan sebutan yang sama seperti yang ia lontarkan ke Alif. Seharusnya Iza tidak boleh berprasangka buruk karena Tiffany adalah teman baiknya.
Seharusnya.
Semingguan ini, Iza mulai untuk berprasangka baik ke Tiffany dan menghilangkan segala pemikiran negatif kepadanya.
Dering bel pergantian pelajaran terdengar nyaring membuat siswa kelas Iza bersiap untuk mengganti baju olahraga.
"GUYS!" Septia berseru sambil memincingkan matanya ke arah Tiffany. "Ada yang perlu ditagihin pajak jadian nih!" Ia merangkul Sonya dan Tiffany.
Yang dirangkul pun menghela napas. "Gue balikan, bukan jadian," elak Tiffany, "kalau mau, mending lo minta sama orangnya aja deh!"
Seruan, "Wohh?!" tiba-tiba terdengar sepanjang koridor menuju ruang ganti.
"Jangan begitu dong tuan putri," celetuk Gea, "pacar lo kan ganteng. Entar gara-gara nagih pajak malah kepincut sama gue gimana?"
"Eaaaak!" Lagi-lagi serempak semua gadis itu berseru, bahkan Iza.
"Halah lo kan mana demen sama yang ganteng kayak Brevan. Lo mah demen sama yang burik-burik-" Ucapan Septia itu tiba-tiba terputus karena Gea membekapnya.
"Diam ya, tolong aja!" ancamnya sambil memasang wajah sinis yang dibuat-buat.
"Hayo kenapa?" Qifa pun bertanya.
"Kayak gue dong, dapetinnya kakak kelas." Dita pun ikut bicara.
"Halah lo curang deketin Hidayat bukan main!" sangkal Asti sambil mendorong bahu Dita yang terus terkekeh.
Pembahasan teman-temannya kini terbagi menjadi tiga, membuat Iza bingung harus nimbrung ke yang mana. Satunya bahas Brevan, satunya lagi bahas Hidayat, dan sisanya bahas laki-laki yang dekat dengan Gea. Akan sangat lucu jika kalimat yang mereka ucapkan dijadikan satu kalimat penuh, walau saling bersahutan.
"Eh gue mau diajak jalan sama-"
"Hidayat lah kan perhatian-"
"Karena ototnya dia tu gede, sekali ngangkat Tippa mah ringan."
Begitu sahut-sahutan yang terdengar di telinga Iza ketika dirinya sudah berada di ruang ganti perempuan. Rasanya, ia bingung harus ikut bergosip ria seputar laki-laki jika orang yang disukanya sendiri masih memiliki masalah dengannya.
"Eh gue mau diajak sama-"
"Brevan tu kemaren ngasih gue novel romance, ternyata itu dari-"
"Jawa lah, si Hidayat itu blasteran Kanada, karena kakeknya. Coba lo perhatiin muka sepupunya si-"
"Alif."
Sahut-sahutan makin terdegar nyaring selama proses pergantian baju. Tapi begitu nama seseorang terdengar di telinganya, Iza langsung tertarik untuk ikut berbicara. Kini ia mencari temannya yang tadi menyebut nama Alif. Karena berdasarkan kalimat terakhir mereka, semuanya bisa saja mengarah ke Alif.
Selesai ganti baju Iza menghampiri Gea, Septia, dan Inna.
"Hayo lagi bahas apa?" goda Iza.
"Ada deh," ujar Gea yang kemudian pergi melenggang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Priority
Fiksi RemajaIza si cewek yang haus cinta tak disangka dapat menyukai cowok seperti Alifahrian Fardendra. Banyak yang bilang Alif itu cowok biasa aja, tidak jelas, bahkan jelek secara fisik dan attitude. Namun Iza tidak peduli dengan itu, seperti kena pelet. Tak...