Bab 29

12.3K 1.1K 43
                                    

Dengan sepedanya Gilang mencari Bayu yang sekarang berada di perkebunan, ia semringah saat menemukan sosok Bayu yang dicarinya. Sebisa mungkin Gilang memberikan senyum termanis untuk Abangnya itu. Bayu mendengus kalau Gilang sudah seperti ini pasti ada maunya.

"Bang Bayu minta uang dong buat jajan," ucap Gilang dengan setengah merengek. Maklum anak kecil umurnya saja baru sepuluh tahun. Bayu mengeluarkan dompetnya, memberikan selembar uang dua puluh ribu untuk Gilang.

"Pelit amat Bang, masa cuma dua puluh ribu. Uang di dompet Abang itu hampir merah semua warnanya, tambahin lagi." Ini anak sudah minta pake maksa lagi, batin Bayu greget.

"Dua puluh ribu itu sudah cukup, untuk apa kamu minta uang banyak-banyak. Palingan juga uangnya kamu pakai buat beli kelereng." Cibir Bayu. Gilang mendengus kesal nasib dirinya punya Abang tidak pengertian. Seperti tidak pernah kecil saja Bayu ini, waktu kecil juga kata Ibunya Bayu juga sering main kelereng.

"Bang Bayu ini!" Gilang mendesah kecewa.

"Dari pada uang itu kamu pakai buat beli kelereng, lebih baik buat jajan. Sudah pergi main sana," kata Bayu dengan sok menggurui. Padahal waktu kecil ia sangat bandel melebihi Gilang.

"Huhh, dasar perhitungan," ucap Gilang ketus, ia mengayuh sepedanya meninggalkan Bayu. Tapi bagi Bayu itu sangat bagus, karena tidak ada yang mengganggunya.

Gilang mengayuh sepedanya dengan santai, menyusuri jalan perkampungan yang berkerikil. Tanpa sengaja ia berpapasan dengan Elsa pacar Abangnya, atau lebih tepatnya mantan pacar. Bayu memutuskan Elsa secara sepihak, tanpa memberikan alasan mengapa Bayu mengakhiri hubungan yang sudah mereka jalin.

"Gilang kamu habis dari mana?" Tanya Elsa dengan senyum ramah terlukis di bibirnya.

"Habis dari kebun nyamperin Bang Bayu," ujarnya. Elsa tersenyum miris ketika teringat hubungannya dengan Bayu yang harus berakhir padahal lelaki itu dulu berjanji untuk menikahinya. Selama mereka menjalin hubungan jarak jauh ia dengan setia selalu menanti.

"Bayu di kebun dengan siapa?" Tanya Elsa.

"Banyak kan sekarang di kebun sedang panen, sudah dulu Kak aku mau lanjut jalan. Mau main sama teman-teman soalnya, kalau Kakak mau ketemu Bang Bayu datang saja ke perkebunan," ucap Gilang yang dibalas dengan anggukkan kecil dan senyum ramah dari Elsa.

*****

Najma menatap puas dekorasi kamar calon bayinya, nuansa kamarnya serba pink mulai dari cat hingga perabotannya. Najma mengeluarkan barang-barang belanjaannya kemarin, baju-baju mungil itu membuatnya gemas. Sepatu lucu dengan hiasan bunga membuat Najma makin tak sabar menunggu kelahiran anaknya supaya bisa ia pakaian barang-barang mungil nan cantik itu.

Senyum bahagia Najma tak lepas dari pengamatan Pram. Pria itu ikut bahagia dengan apa yang dirasakan Najma wanita yang teramat ia cintai. Melihat Najma bahagia seperti ini atas kehadiran bayinya. Pram mampu menutupi rasa sakit hatinya dengan fakta Najma telah tersentuh lelaki lain selain dia.

“Sayang. Selama ini kita tidak pernah membahas nama bayinya. Kamu ingin memberikan dia nama siapa? Kalau kamu masih bingung biar aku saja yang memberikan nama untuk Dede bayinya. Aku sudah siapkan nama yang indah untuknya,” ujar Pram, sambil mengusap perut buncit Najma dimana ia selalu takjub setiap kali merasakan pergerakan makhluk yang ada di sana.

Najma menatap tangan Pram yang bergerak di atas perutnya, si jabang bayi menendang dengan aktif seolah tau kalau ada yang membelainya Najma sampai meringis ketika merasakan tendangan bayinya terlalu kuat.

“Akela Saskia. Itu nama pemberian Bayu.” Raut wajah Pram seketika berubah kaku.

“Aku tidak ingin ada hubungan lagi di antara kamu dan pemuda itu,” ucap Pram penuh penekanan, ia tidak ingin anak Najma mengenal Bayu sebagai ayah kandungnya. Pram hanya ingin anak itu kelak mengetahui dirinya sebagai ayah satu-satunya. Sebab itulah Pram hanya menikahkan Bayu dan Najma secara siri.

Pram pun juga sengaja tidak mengurus perceraiannya dengan Najma secara hukum, agar akta kelahiran anak itu kelak tertulis namanya sebagai wali. Pram sudah memikirkan rencananya matang-matang bukan.

“Mas. Bayu itu Ayah kandungnya. Apa salah jika aku menghormati Bayu dengan memakai nama pemberian Bayu? Aku juga ingin anakku nanti tetap mengenal Bayu sebagai Ayah kandungnya.” Napas Pram memburu, kilatan amarah terpancar di matanya. Pram tak suka dengan apa yang dikatakan Najma barusan.

“Aku tidak izinkan pemuda itu menemui anakmu. Aku tidak ingin jika anak itu kelak tidak menyayangiku karena dia tahu aku bukan Ayah kandungnya. Dengan keadaan seperti itu hubungan kita pasti tidak akan harmonis,” ucap Pram sinis. Najma menghela napas panjang, ia mengusap lengan Pram dengan lembut bermaksud untuk meredakan emosi Pram yang perlahan mulai mendidih.

“Jangan begitu Mas. Bagaimana pun Bayu juga berhak atas anak ini.” Pram menggeram marah, ia menepis kasar tangan Najma.

“Najma kamu apa-apaan! Jangan bilang kamu sudah jatuh hati dengan bocah ingusan itu? Tidak! Aku tidak terima kamu berpaling dariku! Sampai kapan pun kamu itu milikku!” Pram bicara dengan nada tinggi, Najma bahkan merasakan telinganya berdenging.

“Mas ayolah jangan kekanakan. Bagaimana pun anakku nanti berhak tau Ayah kandungnya.” Najma mengharap sedikit pengertian dari Pram, meski itu rasanya mustahil mengingat Pram yang keras jika berhubungan dengan dirinya. Pram hanya terlalu takut Najma tidak mencintainya lagi. Sehingga tidak menginginkan pria mana pun dekat dengan Najma.

“Jika kamu memang mencintai aku. Maka jangan biarkan anak itu nantinya bertemu dengan Bayu. Camkan itu!” Ucap Pram tajam, ia tidak mau dibantah lagi. Jika Najma tetap pada pendiriannya ingin membiarkan anaknya mengenal Bayu sebagai ayah kandung. Bahkan jika itu sampai terjadi, Pram akan membawa Najma tinggal ke luar negeri yang jauh dari jangkauan Bayu agar pemuda kampung itu tidak mengganggu kebahagiaannya. 

*****

Najma mengernyit melihat layar ponselnya menyala, ia segera meraih benda itu. Ada sebuah pesan masuk di sana. Senyum di bibir indahnya terukir, ketika membaca isi pesan itu.

Damar sepupunya yang lumpuh karena kecelakaan tiga tahun lalu sudah bisa berjalan. Najma sangat senang mengetahuinya, ia segera memberitahukan hal itu pada Pram. “Mas, bisa temani aku ke rumah Damar?”

Pram mendengus, ia tidak suka Najma dekat dengan pria lain termasuk Damar sepupu wanita itu sendiri. Selama ini tidak ada yang tahu jika Pram lah dalang dari kecelakaan mobil yang dialami Damar waktu itu hingga menyebabkannya lumpuh.

“Aku akan temani kamu ke sana, tapi hanya sebentar,” ucap Pram. Najma memutar bola matanya kesal, sampai sekarang Pram masih saja tidak bisa menghilangkan rasa cemburunya pada Damar.

Sekitar satu jam berkendara, mereka akhirnya tiba di rumah Damar. Rumah yang waktu kecil sampai Najma remaja sering ia kunjungi karena hanya Damarlah saudara sepupu yang Najma punya. ayahnya Damar merupakan adik dari ibunya.

Setelah keluar dari mobil yang ditumpanginya, Najma berjalan mendahului Pram, ia begitu antusias untuk bertemu dengan sepupu tampannya itu.

"Jalannya pelan-pelan Najma. Bagaimana kalau kamu jatuh ingat kamu sedang hamil." Pram menegur Najma, pasalnya saat mereka turun dari mobil tadi Najma terus melangkahkan kakinya lebar-lebar seolah wanita itu tidak ingat kalau dirinya sekarang sedang mengandung.

"Ya, aku tahu," sahut Najma, ia tidak mempedulikan kekhawatiran Pram. Saat melihat Damar Najma langsung memeluk sepupunya itu. Mereka dari dulu memang sangat dekat apa lagi mereka seumuran. Kedekatan itulah yang menimbulkan kecemburuan di hati Pram.

"Sepupu cantikku sebentar lagi akan jadi Ibu rupanya," ucap Damar sambil mengacak rambut Najma, wanita itu  terkekeh pelan menerima perlakuan dari sepupunya.

"Kamu serius sudah bisa berjalan? Coba aku ingin melihatnya," ucap Najma dengan antusias. Sedangkan Damar ia menatap tak suka seorang pria yang berada di belakang sepupunya.

"Aku baru bisa berjalan beberapa langkah, kurasa tidak perlu kutunjukkan padamu. Nanti saja setelah benar-benar sudah pulih," ujar Damar. Pria itu kini menatap perut Najma siapa sangka wanita manja yang dulu sering merengek dengannya sebentar lagi akan jadi seorang Ibu.

"Ngomong-ngomong calon keponakanku laki-laki atau perempuan?" Tanyanya, Najma semringah.

"Perempuan," sahut Najma dengan menirukan suara anak kecil.

"Benarkah? Dia nanti pasti akan menjadi secantik Ibunya," ujar Damar. Pria itu tidak tahu kalau bayi yang di kandung Najma bukan anak Pram jika dirinya tahu Damar pasti akan shock.

"Tentu. Mamanya saja sudah cantik pasti anaknya nanti jauh lebih cantik," ucap Najma dengan bangga, saat ini Pram merasa dirinya benar-benar diacuhkan. Najma dan sepupunya asik berbincang tanpa melibatkan dirinya, benar-benar sial untuk Pram. Untung ia mencintai Najma, jika tidak mana mau ia diabaikan seperti ini.

*****

Najma yang kini berbaring di tempat tidur, terus bergerak dengan gelisah. Ia berusaha mencari posisi ternyaman untuk tidur, Pram yang berbaring disebelah-Nya jujur saja merasa terganggu.

Najma rasanya ingin menangis karena tidak dapat tidur, sekarang sudah larut malam. Sementara sang jabang bayi yang di kandungnya tidak mau diajak kompromi, si jabang bayi tetap bergerak dengan aktif di dalam rahim sang Ibu.

"Mas bangun!" Najma mengguncang tubuh Pram, mau tidak mau pria itu membuka matanya.

"Ada apa?" Tanya Pram dengan suara serak.

"Pijat kan pinggangku sakit." Pram mengangguk, ia pergi ke kamar mandi lebih dulu untuk membasahi wajahnya supaya rasa kantuknya hilang.

Najma membangunkannya ketika malam sudah biasa terjadi selama wanita itu hamil, dan tujuan Najma membangunkannya bukan untuk memenuhi keinginan ngidam wanita itu tapi ia meminta Pram untuk memijatnya.

"Pelan-pelan saja memijatnya." Pram menanggapi ucapan Najma dengan bergumam pelan, tangannya mulai bersentuhan dengan kulit halus wanita itu.

Najma memejamkan matanya, menikmati pijatan Pram di pinggangnya. Disaat seperti ini Najma baru menyadari kembali kalau Pram sangat mencintainya, terbukti pria itu mau ia bangunkan malam-malam hanya untuk menemaninya begadang atau memijatnya seperti ini.

"Mas Pram, maaf kalau selama aku hamil aku selalu menyusahkanmu. Tapi setelah nanti bayinya lahir aku tidak akan menyusahkanmu lagi."

"Tidak apa, justru dengan kamu yang meminta bantuan padaku aku merasa dibutuhkan." Najma tersenyum hambar.

"Jika suatu saat nanti aku pergi dari hidupmu, Apa kamu akan melepaskanku?' Tanya Najma, dengan mata menatap lurus ke depan. Gerakan tangan Pram terhenti, ia merasa aneh dengan pertanyaan wanita itu barusan.

"Aku sudah pernah bilang, kalau aku tidak akan membiarkanmu pergi meninggalkanku. Sampai kapan pun kamu akan tetap bersamaku." Pram mengucapkan kalimat itu dengan begitu yakin.

"Lalu bagaimana jika aku tetap memilih pergi dan tidak mau menghabiskan sisa hidupku bersamamu?"

"Aku tidak akan biarkan itu terjadi, jika kamu pergi maka aku akan mencarimu. Setelah aku menemukanmu, maka akan aku rantai kakimu sampai kamu tidak bisa pergi lagi meninggalkanku." Najma mendengus, suatu saat dirinya akan pergi dari hidup pria itu.

Cintanya pada Pram memang besar, tapi luka yang telah diberikan pria itu jauh lebih besar. Selama ini ia sudah terlalu dalam memendam luka dan kekecewaan,  luka yang awalnya hanya berupa goresan kecil kini sudah berubah menjadi luka yang menganga hingga berdarah-darah.

Sepuluh tahun itu bukan waktu yang singkat untuk menjalin sebuah pernikahan, banyak kisah yang sudah  ditorehkan oleh tinta suci pernikahan. Namun jika takdir sudah menuliskan mereka harus berakhir, apa hendak dikata selain mereka harus pasrah mengakhiri kisah cinta mereka sampai disini.

Najma kembali meringis saat merasakan sakit di perutnya semakin menjadi. Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat Najma tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.

"Kamu kenapa? Apa yang sakit?" Tanya Pram melihat wajah Najma yang nampak tersiksa.

"Perutku sakit sekali. Sepertinya ini sudah waktunya," ucap Najma dengan nafas tersengal. Wajah Pram berubah panik mengetahui Najma akan melahirkan. Meski bukan dirinya yang akan merasakan sakitnya tapi Pram begitu gugup.

Tidak sanggup Pram bayangkan bagaimana perjuangan Najma nanti saat melahirkan bayinya. Melahirkan seorang anak dimana pada saat itu wanita bertaruh nyawa. Pram tidak siap menghadapi kemungkinan terburuk.






Istri Titipan (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang