Bab 19. Keluarga Abi

11 2 0
                                    

🎶..mengerti, arti hadirmu, mengerti sinarnya diwajahmu, akhirnya ku mengerti diriku memang untuk kau miliki.. Audy - Arti Hadirmu🎶

Hari ini, Abi dan keluarganya mengajakku untuk ikut rekreasi bersama ke pantai dan situs budaya. Tadinya, aku berpikir dan menyuruh Abi untuk menikmati waktu liburan ia itu bersama keluarganya saja. Sebab, aku tau bahwa hubungan dia dengan keluarganya terutama ibu dan beberapa adiknya tidak begitu dekat dan terbuka seperti keluarga lainnya.

Namun Abi enggan, ia menyuruhku ikut dengan alasan agar ia ada teman berbicara saat rekreasi. Karena tidak ingin memperpanjang debat, aku pun mengiyakan.

*saat di Pantai*

Aku sedang duduk di baris ketiga dalam sebuah perahu. Nantinya, perahu yang aku, Abi, dan adik-adiknya naiki akan berkunjung ke sebuah pulau bernama pulau cinta. Aku ikut naik karena sebelumnya Tante Endang, ibunya Abi, menyuruhku untuk ikut naik saja. Jadi mau menolak pun tidak enak bagiku.

Jarak tempat dudukku dengan tempat duduk Abi berjauhan. Aku berada satu baris, bahkan bersampingan dengan adiknya Abi yang bernama Olan. Sedangkan Abi duduk di baris paling belakang bersama dengan keluarganya yang lain.

Aku menoleh ke tempat duduk Abi, memastikan bahwa ia ikut naik perahu yang sama. Sesaat setelah menoleh, tiba-tiba saja adiknya Abi, mengajakku untuk foto bersama.

"Mbak, ayo foto bareng,"

"He? Ayo-ayo,"

Olan langsung mengklik kamera ponselnya. Tapi ternyata, kamera ponselnya, terutama kamera depan, agak sulit di klik. Lalu ada salah satu kerabatnya yang menawarkan diri untuk memotretkan fotoku dan Olan melalui kamera belakang.

"Sini Lan, tak fotoin wae,"

"Oh, yowes leg ngunu mbak. Nyoh foto'ne aku mbe mbak'e iki. Sing apik yo,"

"Oke siap."

Satu

Dua

Tiga

Cekrek. Cekrek.

Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih karena telah memotretkan fotoku bersama Olan. Begitu pun dengan Olan.

"Iki lo mbak fotone awak'e dewe,"

"Mana Lan? Coba lihat."

Aku dan Olan sama-sama menatap ke arah foto yang baru saja di potret.

"Bagus ya mbak,"

"He'eh, lumayan Lan,"

Aku dan Olan saling bertukar senyum ketika selesai melihat hasil jepretan foto kerabatnya. Melihat aku senyum, Abi penasaran.

Kenapa pada senyum-senyum sih mereka? Batin Abi dengan mata memicing

Olan, adik Abi, ternyata sadar dengan rasa penasaran Abi. Ia pun langsung berkata :

"Tenang Mas, aku ora nyapo-nyapo mbe mbak'e. Mek njaluk foto bareng tok. Yo to mbak?" kata Olan kepadaku dan aku mengangguk setuju.

Abi hanya diam dan terlihat bahwa ia tidak menerima begitu saja penjelasan adiknya. Ada rasa cemburu yang ia sembunyikan dibalik tatapan matanya. Tak lama kemudian, Abi menyusul untuk mencari celah tempat duduk di sampingku.

Aku hanya menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepala mengetahui tingkahnya Abi.

***

Di rumah Abi.

Aku dan Abi baru saja selesai jogging. Setelah selesai, aku diajak mampir ke rumahnya Abi terlebih dahulu. Sebab, Abi bilang bahwa sedang banyak pesanan sate di warungnya. Maka aku berpikir bahwa tidak ada salahnya jika aku membantu meringankan pekerjaannya. Toh, selagi aku mampu dan bisa membantu, mengapa tidak ku lakukan saja.

"Loh, Kia. Ada apa kesini? Tumben," ucap tante Endang ketika melihatku mengekor dibelakang Abi tiba-tiba

"Hehe, iya Tan, pengen main."

"Ngawur, main apanya. Orang kamu aku ajak kesini buat bantu-bantu aku kok," ujar Abi tidak terima alasanku saat ditanyai ibunya

Aku reflek menyubit lengan Abi. Namun, dia malah merasa menang karena berhasil menjelaskan maksud dan tujuanku kesana.

Tante Endang yang melihat aku dan Abi saling cubit langsung mengatakan :

"Eh, sudah-sudah. Kalian ini. Yuk, Kia sini kalau mau bantuin, tante ajarin dan kasih tau apa saja yang diperlukan."

"Oke tante. Yuk, wlee." kataku sambil menjulurkan lidah sedikit kepada Abi.

Banyak hal yang diberitahukan oleh tante Endang terkait pembuatan sate di warungnya. Mulai dari penyusunan potongan-potongan daging ayam, daging kambing dan daging kelinci ke sebuah tusuk sate, penyiapan bumbu kacang dan sambalnya, hingga proses pembakaran satenya di tempat pembakaran.

Selesai membantu menusukkan daging yang akan dijadikan sate, aku dipersilahkan duduk di teras rumah oleh tante Endang, ibunya Abi. Saat itu pula ada satu bak cucian yang siap dijemur. Aku ingin membantu menjemurkan, namun aku takut. Nanti disangkanya, aku tidak punya sopan santun lagi. Hingga seorang ibu-ibu datang menghampiriku. Ia adalah buleknya Abi sendiri.

"Mbak, boleh minta tolong jemurin cuciannya ndak? Saya ada urusan disekolah anak saya,"

"Oh, nggeh buk. Bisa. Jemurnya dimana?" jawabku mantap

Sambil menunjuk jemuran bambu depan rumah, bulek berkata :
"Itu mbak. Disana. Makasih loh ya sebelumnya. Maaf ngerepotin,"

"Eh--iya buk. Sama-sama. Nggak ngerepotin juga kok,"

Sesaat setelah itu, bulek pamit kepadaku untuk segera ke sekolahan anaknya. Saat itu pula, Abi kaget melihatku sedang menjemur dan berkata :

"Pasti bulek yang minta tolong sman ya Ay?"

"Eh? Bulek? Iya mungkin. Udahlah nggak apa-apa Ay. Toh, aku juga lagi nggak ngapa-ngapain ini,"

"Maaf ya Ay, jadi nggak enak aku sama sman. Udah bantuin di dapur, ini bantuin lagi,"

"Nggak enak kasih kucing aja Ay,"

"Ih, sman mah. Aku seriusan."

"Hadeh, dari pada sman ngomong gitu, mending sini bantuin aku jemurin semua cucian ini Ay. Biar cepet kelar juga,"

Abi tidak bicara lagi dan langsung membantuku menjemurkan pakaian yang ada di bak.

Bertepatan dengan tetangga Abi yang melintas yang kemudian bilang :

"Ciiee, gitu dong. Simulasi rumah tangga yang baik ya gitu. Saling membantu,"

Aku dan Abi saling pandang, kemudian tersenyum geli mendengar kalimat yang dilontarkan oleh tetangga Abi.

***

Dia Tak Bahagia (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang