Bab 40. Dokter

5 2 0
                                    

🎶sendiri ku menangis, tak seorang pun tau, lukaku.. Tata Janetta - Korbanmu🎶

Hari ini, aku merasa ada yang tidak beres dengan kesehatanku. Aku pun berencana untuk memeriksakan diri ke dokter. Setelah selesai KKN, badanku terasa gatal-gatal dan timbul bercak kecil-kecil. Dari pada terlambat, jadi lebih baik aku mencegahnya terlebih dahulu.
Aku pu  bercerita kepada Abi saat jam istirahat tiba.

"Ay, aku mau ke dokter."

"Sman kenapa Ay?"

"Nih liat."

"Kok bisa begitu?"

"Ya makanya mau aku periksain dan tanya ke dokter ini kenapa."

"Yaudah aku anter."

"Emang sman nggak ada kuliah besok?"

Abi langsung mengambil buku dari dalam tasnya. Mengecek apakah ia ada jadwal kuliah besok atau tidak.

"Ada Ay,"

"Yaudah, sman kuliah aja. Aku ke dokter sendiri aja nggak apa-apa kok."

"Nggak mau. Aku mau nganter sman."

"Hih, jangan gitu. Sman ada kuliah gitu kok."

"Udah gampang itu. Bisa titip absen sama Wahid."

"Mesti gitu. Aku tuh nggak mau kuliah sman keteteran tau."

"Sayang, aku tuh nggak mau ada orang lain yang perhatiin sman. Sekali pun itu tukang ojek."

"Astagfirullah. Segitunya ya sman. Ih. Yaudalah terserah."

"Nah gitu kek dari tadi Ay."

Aku memilih mengalah saja. Sebab aku tau, berdebat dengan Abi bukanlah pilihan yang tepat. Jadi, jika tidak ingin pusing dan panjang lebar, ya disudahi saja debatnya dan mengiyakan segala ucapan yang di lontarkan oleh Abi.

***

"Pasien yang bernama Azkia Fatimah silahkan menuju resepsionis." ucap mbak resepsionis mengumumkan.

Aku langsung menuju resepsionis ditemani oleh Abi. Sesampainya di resepsionis, aku langsung menyerahkan KTP dan mengisi formulir seperti yang diperintahkan. Setelah selesai, mbak resepsionis menyerahkan kartu kesehatan dan mengarahkanku untuk menuju ruang pemeriksaan dokter spesialis.

"Sman ikut aku periksa atau mau tunggu disini aja Ay?" kataku kepada Abi

"Em, tunggu sini aja deh Ay. Sman nggak apa-apa kan?" jawab Abi dengan nada khawatir

"Oh, yaudah."

Usai bertanya, aku langsung meninggalkan Abi dan menuju ruang periksa dokter spesialis. Sesampainya di depan ruangan, aku mengetuk pintu.

"Permisi dokter. Saya mau periksa."

"Oh, iya mbak. Silahkan masuk." kata dokter yang bertugas kala itu.

Raut wajah setengah tua membuat kesan bila dokter ini adalah dokter yang sabar. Aku pun mulai meluapkan segala keluh kesah terkait sakit yabg kurasakan. Lalu dokter yang bername tag tertulis dr. Yuni dengan sabar mendengarkan keluhanku hingga tuntas.

Usai diperiksa, dr. Yuni memberiku secarik kertas bertuliskan resep obat-obatan yang harus ku minum selama beberapa haru ke depan. Katanya sih, agar sakitku segera sembuh. Sebagau pasien, aku hanya menuruti permintaan sang dokter. Setelah itu, aku kembali menjemput Abi dan langsung mengajaknya ke apotik.

"Udah selesai Ay?"

"Udah kok."

"Sakit apa kata dokter?"

"Sakit biasa. Hehe. Nih dikasig resep obat, sman mau ikut nebus obatnya apa nggak?"

"Ikut dong."

Aku dan Abi langsung berjalan melalui beberapa koridor rumah sakit. Berbekal arahan sang resepsionis mengenai letak apotik, aku dan Abi dengan pedenya berjalan menyusuri satu per satu koridor. Hingga akhirnya mataku menangkap papan bertuliskan apotik.

Dengan senyum sumringah, aku menggandeng Abi agar segera sampai ke apotiknya.

Sesampainya di apotik.

"Silahkan mbak, ada yang bisa saya bantu?" Kedatanganku disambut oleh penjaga apotik dengan ramah

"Anu--itu mbak, saya mau nebus obat."

"Boleh saya lihat resepnya dulu mbak?"

"Oh, iya ini mbak."

Abi yang melihatku kikuk hanya bisa tertawa kecil. Usai melihat resep obatku, si mbak menyuruhku untuk antri di kursi tunggu. Sebab, pada hari itu, banyak sekali orang-orang yang sedang menebus obat di apotik.

Aku mengangguk mengiyakan dan menunggu di kursi tunggu. Sambil menunggu giliran, aku dan Abi asyik berbincang-bincang terkait perkuliahan. Hingga tidak sadar bahwa penjaga apotik telah memanggil nomor antrianku. Untungnya, ada ibu-ibu baik hati yang menyenggolku seraya berkata :

"Mbak, itu nomor antriannya pean dipanggil tuh."

"Eh, makasih banyak ya ibu sudah mengingatkan saya."

"Iya nggak apa-apa. Namanya juga pengantin baru, wajar kalau masih mau mesra-mesraan."

"Loh? Saya buka--"

Belum sempat aku menjelaskan, mbak penjaga apotik mengulang nomor antrianku agar segera menuju apotik. Aku hanya tersenyum ke arah sang ibu lalu pamit untuk ke apotik duluan.

Nikah aja belum, udah dibilang pengantin. Batinku terkekeh

***

Dia Tak Bahagia (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang