Tidak sering menolak makanan, mulai sedikit berbicara dengan orang lain, Seokjin pikir ini adalah kemajuan yang lebih baik. Walau kadang masih melamun kala senja dan menangis dalam diam saat semua mata mulai terlelap.
Beruntung Yoongi selalu ada disana ketika Jungkook butuh sandaran, menemani malam-malam panjang yang berlalu penuh teriakan dan raungan kesedihan bersama adik kecilnya. Merengkuhnya dalam diam walau pada kenyataan ia pun ikut menangis pilu dalam kebungkaman.
Dan masa-masa berat itu mulai berangsur berhenti. Kini Jungkook bisa sedikit tersenyum pula Yoongi mampu terlelap tanpa jengat khawatir suara Nayoung. Namun kendati demikian hati kecilnya masih diselubungi ribuan cemas, tentang keadaan mental bocah laki-laki yang ia panggil adik itu yang masih sangat rentan dan sensitif.
Orang-orang didekat Jungkook sangat berhati-hati dalam berlaku maupun berucap, sangat menjaga keadaan hati anak itu sebagai bentuk pemulihan lewat lingkungan sekitar. Seokjin sebagai dokternya sangat menekankan agar Jungkook tetap didampingi walau kedua netra itu tertutup, bahkan Yoongi membawa hampir setengah pekerjaannya kerumah sakit.
Oh
Jungkook sudah tidak lagi diruang Isolasi. Hari ini Yoongi putuskan membawa Jungkook pulang. Bibi Nayoung meminta mereka pulang kerumahnya agar Jungkok tetap mendapat pengawasan saat Yoongi berkutat dengan tanggung jawabnya diperusahaan. Dan Seokjin juga timnya akan melalukan pantauan secara berkala.
Derit suara kursi roda menggema. Lorong sepi saat Fajar, beberapa orang menyapa mereka dan Jungkook membalasnya dengan senyum tulus yang sangat manis.
Pikirannya mulai jernih kembali, walau kadang terasa tercubit saat melihat gurat lelah diwajah kakak dan bibinya.
Sekelumit rasa bersalah mulai menguar didalam pikirannya, kadang sampai mengganggu pejam. Bayangan dalam mimpi saat wajah garang bunda selalu tergambar jelas di malam-malam bersama mimpi buruknya.
Jungkook mengangkat pandang, menatap wajah Yoongi yang sedang mendorong Kursi rodanya menjauhi kamar yang telah ia tempati selama hampir tiga minggu berselang. Tak lama kedua irisnya mendapati wajah tenang bibi dibelakang, senyumnya luntur seketika mengingat bagaimana pihak lain ikut terbebani dengan keadaannya yang seperti ini.
"Hei ada apa Kookie?"
Suara bibi mengalun lembut, mengantarkan pandang Yoongi yang merunduk dan kecepatan langkahnya berkurang. "Perlu sesuatu?" suara berat kakaknya yang ia ingat selalu membisikan kata bersifat penenang kala ia mengigau bertemu lagi bibi Shin atau nenek dipantai.
Wajahnya kembali dialihkan, menggeleng halus yang kemudian di hadiahi sebuat elusan dipucuk kepalanya.
Lima menit sebelum Yoongi membantu Jungkook berdiri dan berpindah ke dalam mobil, Nayoung berlutut dihadapan keponakan manisnya itu dan kemudian meremat kesepuluh jari Jungkook yang berada di genggamannya. "Kita akan pulang kerumah Bibi, Kookie bisa bermain dengan Clay dan melihat paman Jonghyun melakukan sulap bodohnya lagi. Kookie senang?" iris legam Nayoung beradu dengan bening bola mata bocah dihadapannya, kembali ia melihat duka walau tak sebesar sebelumnya. Hati kecilnya teremas ketika mendapati pucat bibir Jungkook dengan cekungan hitam yang sedikit memudar dibawah matanya.
Melihat wajah anak lelaki dihadapannya seperti mendapati sosok Kakaknya, wajar karena lekuk wajah mereka yang serupa. Jungkook hampir mewarisi segalanya dari Juyoung, hanya sikap manja Jungkook yang entah didapatkan dari siapa. Tapi mungkin karena dia seorang bungsu dan Yeojun---kakak Iparnya---dulu sangat memanjakannya.
Tiga minggu ini Nayoung berganti menjaga Jungkook bersama suaminya dan Yoongi. Melihat bagaimana luapan luka Jungkook dan segenap perjuangan Yoongi untuk dapat mengembalikan setengah kewarasan adiknya. Dalam tangis yang selalu ia coba bendung, dalam hati yang selalu ia paksa untuk kuat demi dua anak yang lebih perlu mendapat kekuatan. Nayoung berusaha tegar, sebab ketika ia sendiri lemah akan ada siapa yang memberi mereka semangat?
Wanita dengan surai yang diberi warna layaknya kayu kering itu terlalu sibuk dengan benang kusut dalam pikirannya, hingga tak sadar setitik air jatuh dari pelupuk mata yang lantas membawa tangan dingin Jungkook mengusapnya dan membawanya kembali pada kesadaran. Telapak tangannya menggengam tangan Jungkook yang masih berada dipipinya, membawa tangan yang semakin mengurus itu pada kecupan-kecupan kecil disertai ribuan doa kebahagiaan di dalam hati.
"Ayo Bi. " Yoongi yang sedari tadi bungkam akhirnya bersuara. Lantas membantu adiknya berdiri dan melipat rapih alat yang akhir-akhir ini menjadi penopang tubuh Jungkook dikarenakan keadaan tubuhnya yang terkadang membuatnya limbung dan kehilangan keseimbangan.
Sepanjang perjalanan hanya diisi dengan keheningan. Sesekali Yoongi mengalihkan pandangnya ada kaca tengah yang menyorot bagian belakang tempat Jungkook dan bibinya berada.
Jungkook bersandar pada tubuh ramping bibinya, dengan pandangan lurus mengarah pemandangan ramai jalanan kota dipagi hari. Yoongi menghela nafas, lagi-lagi kepalanya berdenyut.
Dua hari terakhir tubuhnya terasa berontak, Yoongi butuh senyap dan istrahat lumayan panjang. Pikirnya setelah sampai rumah ia perlu merebahkan diri dan menyerahkan pengawasan adiknya pada Bibi untuk sementara.
Tapi rencananya harus ditunda. Setelah memastikan Jungkook terlelap dikamarnya, Yoongi malah berkutat dengan setumpuk pekerjaan yang terbengkalai lantaran semalaman dia malam mengurusi persyaratan kepulangan Jungkook dan ngopi bersama Seokjin sampai pagi.
"Istirahatlah Yoon, kau bisa mati jika terus-terusan seperti ini. " sarkas Jonghyun. Pamannya itu memang memiliki lidah setajam pisau dapur, Yoongi mengerti walau pamannya itu punya lidah tajam dan kadang kelakuannya bar-bar tetapi hati lelaki paruh baya itu sebenarnya lembut dan hangat terlebih jika menyangkut keluarganya.
Seperti saat ini, datang tanpa diundang menghampiri Yoongi yang terduduk di meja ruang keluarga denga kata-kata tajam tetapi secangkir teh hijau yang uapnya masih mengepul membuktikan kasih sayang dan perhatian Paman nyata adanya.
Yoongi menghela nafas, kacamatanya ditanggalkan. Kemudian berucap "Paman.. " Jonghyun yang sedang membaca berkas ditangannya hanya menjawab dengan gumaman malas. .
"Aku pikir, aku butuh Namjoon. " []
A/N:
(maaf banget akhir-akhir ini aku terlena jadi pembaca huhu:()
Terimakasih atas dukungan kalian semua #Roadto2k Dari awal aku publish cerita ini, sebenernya aku gak pernah berharap banyak. Tapi Alhamdulillah atas dukungan dan Cinta kalian cerita ini bisa eksis dan tetap berlanjut sampai sekian bagian.
Aku senang sekali ceritaku bisa kalian nikmati dengan baik, sekali lagi Terimakasih banyak<3
Oh ya jangan ragu untuk memulai percakapan ya! Aku senang berteman:D