39- Emotion side

1.3K 225 13
                                        

"Sudah dengar jadwal operasi dimajukan?"

Melewati koridor rumah sakit yang mulai ramai, Jungkook mendorong kursi roda Yoongi pelan. Suara gesekan roda bertemu keramik menjadi samar ketika melewati lobi yang mulai ramai.

Mendengar pertanyaan kakaknya Jungkook tak lantas menjawab. Diam seperti pura-pura tidak mendengar, Yoongi menyadari hal itu. Keadaan dirinya menjadi topik sensitif untuk Jungkook, ditambah runtutan kejadian kemarin yang membuat pikiran anak itu semakin runyam dan emosional.

"Jung, Kau tahu kan apapun yang ter--"

"Kakak tetap menyayangiku kak? Aku tahu." Jungkook tersenyum yang kemudian menular pada sang Kakak.

Taman rumah sakit menghadap timur sehingga saat matahari hampir sampai di peradaban akan terlihat jelas.

"Jangan takut." ucap Yoongi.

Jungkook mendudukan dirinya di bangku semen, lalu sedikit menarik kursi roda sang kakak mendekat. Ia meringis sebab berat kursi roda yang ditempati sang kakak terasa begitu ringan.

"Aku yang semestinya mengatakan itu." ujar Jungkook tanpa mengalihkan pandangannya dari matahari yang mulai naik.

Senyum Yoongi hadir, ia memandang wajah Jungkook dari samping dengan hati yang terasa hangat. Ujung tangan Mantelnya dipilin pelan, kemudian ikut memandang sang Surya.

"Kakak tidak takut."

"Aku juga." Jawab Jungkook cepat.

Kemudian lagi hening diantara keduanya, hanya suara-suara penghuni taman yang terdengar sayup.

Walau didalam bibir berkata demikian, namun berbeda pendapat dengan hatinya. Sebab Jungkook memendam ketakutan yang besar dihatinya sejak semalam Yuri mengatakan hal serupa dengan apa yang dikatakan Yoongi. Dirinya bersugesti bila tidak akan terjadi apapun, Yoongi akan kembali. Dan mencoba agar percaya akan hal itu.

Namun kekhawatiran tetap menjadi momok terbesar perubahan sikap Jungkook yang makin menjadi seorang yang pendiam sejak semalam.

"Hei melamun?" Yoongi menepuk pucuk kepala Jungkook  yang tampak termenung.

***

Yoongi kembali mendapat masa sulitnya. Dimana tidak ada  secuilpun makanan yang sanggup ia telan sejak pagi, tubuhnya lemas bahkan untuk sekedar mengeluh.

Jungkook ada disana, memijat kaki sang Kakak telaten. Yoongi kehilangan banyak bobot tubuhnya, tenaganya mudah terkuras bahkan hanya berjalan sepersekian meter.

Setiap malam Jungkook terlalu takut untuk terlelap, seperti saat Paman dalam masa sulit yang serupa dengan Kakaknya Jungkook terlalu takut mereka hadir didalam mimpinya.

Sepanjang malam ia akan mengamati wajah Yoongi yang terlelap damai. Dan meyakinkan dirinya bahwa sang Kakak masih ada bersamanya.

Yoongi memperhatikan wajah sendu sang Adik dalam diam. Baru saja ia melihat bagaimana binar dimata Jungkook yang sangat indah, sekarang kembali dihadapkan dengan raut penuh ketakutan itu lagi. Dan lebih parah ketika ia menyadari bahwa keadaan dirinya lah yang menjadi sebab.

Pijatan pada kakinya menimbulkan sensasi nyaman, kantuk mulai mendera tetapi sulit untuk diterima sebab dentuman dikepalanya yang sukar menghilang.

Tidak ada siapapun diruangan kecuali dirinya dan Jungkook, Bibi keluar dam Namjoon entah kemana.

Mengingat dua orang terkasihnya itu, perasaan bersalah muncul secara beruntun padanya. Melihat bagaimana duka Bibi dan Namjoon yang belum surut sempurna, malah ditambah dengan dirinya yang semakin membuat runyam keadaan. Bukannya menyembuhkan, malah menambah. Sungguh takdir benar-benar sedang bermain dengannya.

"Kak tidurlah."

Jungkook meletakkan sebelah Kaki Yoongi yang tadi dibawanya kepangkuan kembali, lantas membenahi letak selimut yang tersingkap.

"Kenapa? Kepala Kakak sakit?" Yoongi berkedip pelan sebagai balasan.

Mengerti akan hal itu, Jungkook mulai mengurut kening Yoongi perlahan. Ia dapat melihat bola mata Yoongi yang bergulir kearah wajahnya.

Yoongi memandang adiknya sayu, bagaimana bisa anak itu bisa menjadi se-Dewasa ini?

Bagaimana bisa ketakutan itu dapat di sembunyikan?

Bagaimana bisa sorot itu menangis pilu, kendati wajahnya terlihat begitu tenang?

Bagiamana bisa?

Jungkook-ah kebaikan seperti apa yang telah kau dapat di kehidupan sebelumnya?

"Kenapa Kakak menangis?"

Jungkook mengusap lelehan air mata yang mengalir dipipi Kakaknya. Yoongi yang seperti ini malah seperti mendobrak hatinya untuk menunjukan kesedihan dan ketakutannya.

"Kakak tidak boleh menangis." Jungkook bergetar.

Sekuat tenaga ia mencoba meredam semuanya sendirian dan berlagak tegar dihadapan semua orang. Tapi melihat Yoongi yang seperti ini adalah kelemahannya, dinding pertahanannya bisa runtuh sia-sia.

Tidak, Tidak boleh menangis. Harus kuat. Untuk Kakak.

Jungkook mengenggam erat jemari Yoongi terkulai disamping tubuhnya, dan Yoongi membalasnya lemah.

"Hei! Sejak kapan tangan Kakak menjadi sekecil ini? Lihat!" goda Jungkook pada jemari ramping Yoongi yang tampak seperti wanita, ia mencoba mengalihkan kesedihannya dengan hal-hal yang dapat mengundang tawa keduanya.

Namun alih-alih tertawa atas candaan sang Adik, Yoongi malah semakin gencar meneteskan air mata. Merasa menyesal telah membiarkan sang Adik  memakai topeng tebal dan tidak jujur atas perasaannya.

Padahal dulu Yoongi selalu mengingatkan; Jika sedih, menangislah, Jika bahagia, bersenang-senanglah. Dengan begitu kau akan mengerti dirimu sendiri.

Tapi pada kenyataannya saat ini Jungkook kehilangan arti pada dirinya untuk sang Kakak. Untuk permintaan kuat dan tersenyum pada apapun yang terjadi, tapi malah berbalik menyakiti keduanya.

***

"Bagaimana keadaan Yoongi?"

Seokjin menyeruput kopi di cangkirnya perlahan. Memandang lekat pemandangan malam kota Berlin yang gemerlap.

"Jadwal operasinya di percepat. Kapan kau akan kembali?"

"Benarkah? Apa kondisi Yoongi seburuk itu?" Seokjin dapat mendengar gumaman kecil dari seseorang diseberang sambungan telepon.

"Aku akan pulang dua minggu lagi mungkin. Aku sangat ingin menemani Jungkook disana."

Senyum Seokjin terbit, sahabatnya memang banyak berubah. Dari sosok wanita ambisius dan tidak memikirkan lingkungan, kini menjadi seoranh dokter yang penuh kepedulian. Tulus sekali.

"Terima Kasih, Yuri-ya."[]

Dream SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang