Siang telah pergi membawa segala kedukaan dan kesakitan yang telah lama bersemayam.
Berganti kelam langit malam tanpa Bintang, dengan semilir angin musim dingin yang menusuk tulang.Hari berlalu begitu cepat. Lembaran usang terlah berganti halaman, pula kisah-kisah yang ada didalamnya bertambah.
Tidak ada air mata. Bukan karena tidak merasakan kesedihan. Luka itu tetap ada, Bahkan jika harus dijabarkan dengan kata, mungkin ke dua puluh enam abjad pun tidak akan sanggup menjadi perantara.
Jungkook hanya membiarkan semuanya bergulir tenang, membuat langkah-langkah yang telah digariskan takdir berjalan begitu saja.
Dan itu pun yang diminta mendiang Jonghyun dalam kalimat terakhirnya. Bahwa jangan pernah ada kesedihan yang mengiringi kepergiannya.
Siang tadi Jungkook tidak menangis saat peti kayu yang didorong kedua kakak dan kerabatnya masuk kedalam tungku api panas, walau hatinya bergemuruh hebat meminta pelampiasan. Ia hanya menatap nanar semuanya dengan pikiran kosong.
Walau begitu Jungkook tetap harus berdiri, hal lain begitu penting daripada luka nya. Sebab ada orang-orang yamg lebih membutuhkan dekapannya.
Saat ini ia sedang membaringkan tubuhnya di sofa panjang dikamar Bibi, menikmati nada manis yang di senandungkan oleh wanita cantik miliknya ini.
Bibi tampak begitu tegar, walau sempat kehilangan kesadaran saat sesi penghormatan terakhir hampir usai.
Rambutnya di sisir lembut, tatkala mendatangkan rasa nyaman hingga Jungkook terpejam.
Suara pintu yang didorong mengalihkan atensi keduanya, Yoongi yang sudah berganti pakaian walau wajahnya masih terlihat kuyu pun menyembulkan kepala. Tersenyum lembut kearah mereka, yang dibalas dengan cuma-cuma walau tak sampai mata.
"Jung ayo ke kamar, Bibi butuh istirahat. "
Tak banyak yang diucapkan anak itu setelahnya, ia hanya mengecup pipi Bibinya dan berlalu dalam balutan tangan lebar sang kakak diantara jemarinya.
Sampai ke kamar pun, bisu senantiasa menyelimuti keduanya.
Jungkook hanya terdiam memandangi gerak-gerik sang Kakak yang hilir mudik, Hingga kembali membawa dua potong pakaian kehadapannya.
"Ganti pakaianmu, Kakak turun sebentar. Melihat Namjoon. " masih tanpa suara Jungkook mengangguk, yang kemudian membuat Yoongi menarik datar bibirnya.
***
Yoongi mendorong pintu kayu milik adik tertuanya itu pelan. Gelap menayapanya, kemudian seberkas cahaya dari gorden yang disingkap mengalihkan pandangannya. Di bawah jendela besar, ada punggung Namjoon yang membelakanginya. Terduduk dengan kepala merunduk di meja kerja dengan kaku.
Di sentuhnya bahu lebar itu perlahan, membuat pokus Namjoon beralih dari buku-buku tebal di hadapannya. Menatap presensi sang Kakak dibalik kaca mata bening yang menampilkan matanya yang memerah.
"Hai Kak. " sapa Namjoon.
"Kau sudah makan?"
Namjoon tampak berpikir, ia sejemang lupa dengan apa yang sudah ia lakukan setelah pulang dari rumah kremasi.
"Kurasa sudah. "
Helan nafas terdengar. Yoongi mengunci mata teduh adiknya itu, terlihat kentara lelah. Maka setelahnya yang Yoongi lakukan adalah menggiring Namjoon untuk segera tidur. Mematikan lampu, dan mendorong pintu dengan hening. Tanpa menoleh kebelakang memerhatikan sosok yang melihat punggungnya dengan air mata yang berurai
***
"Hei kau tahu Jung. Kau sudah melakukan yang terbaik. "
Seperti biasa dengan langit-langit kamar yang dibiarkan temaram, mereka tenggelam dalam afeksi yang berbaur kehangatan. Jungkook menjadikan lengan sang Kakak sebagai bantal ternikmat sepanjang masa, memilin ujung piyamanya dengan perasaan sedikit gelisah.
Jungkook mengangguk sebagai balasan.
Sesungguhnya ia begitu lelah dengan keadaan, tak ingin menunjukkan, dan akhirnya hanya menjadi irit bicara.
Yoongi memainkan anak rambut Jungkook yang terurai dikeningnya. Menjelang pagi, namun dua diantara mereka tidak memiliki minat sama sekali untuk terlelap.
"Tapi Jung, menangislah jika ingin, Kakak tahu ini sangat melelahkan. "
Gemuruh dihati Jungkook semakin menyakitkan, tangis yang ia tahan sedemikian rupa hampir saja terlewat.
Yoongi selalu memberinya ruang kenyamanan, tempat ia berbagi segalanya. Dan pada akhirnya Jungkook menyerah pada tekadnya.
Menangis tersedu dalam dekapan hangat sang Pelindung, meluapkan segala sakitnya yang telah ia simpan sepanjang hari.
Hingga pagi benar-benar datang, dan Jungkook menyerah dengan tangisnya lantas terlelap dengan wajah memerah yang dan hidung berair. Yoongi masih belum memejamkan matanya, kepalanya diserang bertubi-tubi dengan rasa sakit hingga kantuk menguap tergantikan ringisan kecil yang ia tahan sedemikian rupa.
Keduan legam irisnya tertutup, menghembuskan nafas lelah sembari mengeratkan rengkuhan tangannya pada sang Adik.
Pikirannya berkelana pada hari-hari berat yang dilalui kemarin. Yang benar-benar terjadi, bahwa Paman pergi dengan waktu yang tidak diduga, hingga menyisakan orang-orang bertopeng tegar diwajah. Dan Termasuk ia sendiri.
Yoongi merasa sebuah benda tumpul memukul telak kepalanya, memberikan dengungan tinggi melengking ditelinga hingga kernyitan didahinya terlihat. Kemudian sensasi menggelitik hadir dibawah hidungnya, Yoongi mengusapnya pelan lantas malah geraman yang terdengar. Diraihnya kotak tisu disamping ranjang--yang semalam ia pakai untuk mengusap wajah adiknya-- lalu menyumpal hidungnya yang berdarah.
Pergerakan Yoongi membuat tubuh dalam rengkuhannya terusik. Jungkook bergumam kenapa? Dengan suara parau, Yoongi membalasnya dengan suara kecil yang dibuat normal untuk menekan ringisannya. Kepala Jungkook yang hendak mengadah pun ditahan, supaya adiknya itu tidak melihat wajah kacaunya.
"Kak, "
"Hm, "
"Pukul berapa sekarang?"
"Enam, belum ada matahari. Tidurlah kembali. " []
A/n;
/tiup tiup debu
Hai apa kabar? Semoga kalian yang berpuasa diberi kelancaran!
I love you all<3

KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Sight
Fanfiction[ TrueFanficIndo April'19 reading list ] ------ Jungkook benci jika harus selalu melihat takdir seseorang. Chaptered Brothership YK - - - Story©SasyaW Cast©BTS bighit entertaiment, their parents Cover©CanvaXpinterest