Suara mesin pendeteksi jantung menggema mengisi hening ruangan yang ditempati Jonghyun.
Namjoon mematut dirinya dalam diam, duduk dengan baju steril dan penutup kepala, memandang sang Ayah dengan mata sendu.
Telapak tangan lebarnya dibawa menuju tangan sang Ayah yang di belit bermacam-macam selang.
Selang ventilator dimulut Jonghyun dilepas kemarin, digantikan dengan sebuah selang kecil yang menerobos rongga dadanya.
Namjoon meringis, membayangkan seberapa sakit yang harus Ayahnya bayar untuk ini.
Tidak ada air matanya disana, Namjoon lelah menangis. Ia harus kuat selayak dicontohkan sang Adik yang sebenarnya lebih rapuh didalam daripada siapapun untuk saat ini.
Untuk sang Ibu juga yang perlu ditentramkan hatinya.
"Ayah, Bungsu kita sangat kuat. Buka matamu, dan lihatlah bagaimana dia menguatkan kita semua. " Namjoon mengusap kening sang Ayah, disana ada kerutan halus terlihat menandakan usia.
"Aku butuh Ayah, Ibu juga. " getar suara Namjoon. Tidak, jangan ada air mata.
Sepintas memori saat ia meminta ijin ingin dilepas dari sangkar terbayang kembali dalam benaknya, bagaimana sang Ayah yang tampak ragu diawal untuk melepasnya pergi dengan sayap yang dimiliki sendirian.
Namjoon mendapat lika-liku panjang dalam jalannya menuju angkasa. Menimba ilmu di negara orang bukanlah hal mudah, meski ia memiliki bekal yang banyak.
Anak muda berumur delapan belas yang ingin mencari pemandangan lain, dan menggali pemahaman baru. Terlalu polos dan rapuh untuk menghadapi dunia barat yang kejam.
Namjoon sempat sakit parah di paruh waktu sekolahnya di Inggris, kejadian itu pula yang membuatnya harus mati-matian mengulang seluruh bujuk rayu untuk sang Ayah agar masih diberi ijin bersekolah disana. Jonghyun percaya kepada Namjoon, putra tunggalnya itu akhirnya mendapat kebebasan yang sempurna setelah lulus jenjang akhir perkuliahan. Namjoon mendapat banyak tawaran menggiurkan disana, membuat dia sempat menolak mentah-mentah ajakan sang Ayah dengan posisi megah di perusahaan yang telah di besarkan Jonghyun sendirian. Secuil rasa kecewa hadir dalam hatinya, namun Jonghyun lagi-lagi ingin anaknya mengecap rasa kedewasaan dengan sendirinya. Mandiri. Tapi hal itu lah yang kemudian Namjoon sesalkan dimasa sekarang, bukan tentang jabatan, tetapi tentang Keluarga yang lama ia tinggalkan."Seharusnya aku pulang lebih awal, iya 'kan Yah?" monolog Namjoon yang dibalas dentingan lamban mesin pendeteksi jantung disampingnya. "Aku berjanji akan memperbaiki semuanya, bersama Ayah. "
***
Jungkook sudah bersiap akan kerumah sakit, dengan setelan rapih dan wajah segar. Tidurnya sangat berkualitas malam tadi, sebab keadaan rumah yang tentram dan kejadian hangat kemarin sehingga ia benar-benar merasa ringan saat ini.
Jungkook mendorong pintu kayu kamar kakaknya perlahan, cat putihnya sudah mengelupas di beberapa bagian, jika tidak lupa ia akan memberi tahu Pak Lee perihal ini.
Suara gemericik air terdengar, Yoongi mungkin sedang mandi. Namun saat Jungkook akan mendudukan dirinya di Ranjang besar milik sang Kakak, rungunya menangkap suara-suara aneh lain dari kamar mandi. Jungkook cepat-cepat menghampiri pintu kamar mandi milik Yoongi, "kak?" panggilnya dari luar. Mengetuk cepat pintu kayu itu hingga suaranya nyaring terdengar. Tidak ada jawaban dari dalam, Jungkook tidak sabar hingga membuka Pintu itu yang sebenarnya tidak dikunci.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Sight
Fanfiction[ TrueFanficIndo April'19 reading list ] ------ Jungkook benci jika harus selalu melihat takdir seseorang. Chaptered Brothership YK - - - Story©SasyaW Cast©BTS bighit entertaiment, their parents Cover©CanvaXpinterest