Cahaya cermelang mentari musim semi tampak menyinari sore ini dengan indahnya. Alunan musik terdengar menggema di seluruh penjuru Istana. Bangunan yang menjulang tinggi dan luar biasa besar itu tampak padat oleh orang-orang. Keramaian dan sorakan terdengar bising dimanapun telinga mendengar. Dan seruan bertambah heboh setiap kali aku tersenyum dan melambaikan tangannya.
"HIDUP TUAN PUTRI!!"
Begitulah sorakan yang sedari tadi kudengar, terus terulang-ulang di pendengaran tanpa ada satupun orang yang merasa bosan, kecuali aku tentunya. Hari ini adalah hari pemahkotaanku, juga menjadi peresmian kerajaan Utara kembali dibuka. Sebagian kecil masyarakat di seluruh wilayah kerajaan melakukan perpindahan wilayah guna mengisi pemukiman kerajaan Utara yang baru saja selesai dibangun kembali.
Sebagian besar penyihir dan ilmuan terbaik diberikan tanah khusus di kerajaan Utara, dengan harapan dapat mengembalikan kemajuan teknologi kerajaan Utara yang telah tertinggal jauh.
Dan hari ini, menjadi hari spesial. Kini, aku telah resmi dinobatkan sebagai Putri murni kerajaan Utara, dan Kepala pelayanku―William―dinobatkan sebagai pemimpin sementara kerajaan Utara sampai aku menyelesaikan jenjang pendidikkanku.
"Whoah, aku sampai pangling," dua gadis yang tampak seumuran denganku tersenyum sumringan, dari nada bicaranya barusan, bisa disimpulkan bahwa mereka sedang mengejekku.
Aku mendengus pelan, "aku tak tahu kalian sedang memuji atau menghinaku," ucapku dengan nada kesal dibuat-buat. "Jangan meledekku, Yura, Flo."
Yura tergelak, kemudian menggeleng pelan. "Aku serius pangling, tahu."
"Benar," Flo menyetujui perkataan Yura. "Kau saja yang selalu berpikiran negatif, Kena." Gadis bersurai hitam itu terdiam sesaat, sebelum akhirnya tersenyum nakal, "maksudku, putri Kena."
"Hey! Kalian kan juga putri mahkota!" kilahku dengan sebal.
Di tengah perdebatan singkat kami, seorang wanita bersurai hijau gelap berjalan menghampiri mereka, dengan beberapa pengawal yang setia mengekorinya.
Yura yang lebih dulu menyadari kehadiran wanita itu berseru antusias, "Ibu!"
Aku menoleh, menatap wanita paruh baya yang masih tampak segar dan awet muda itu. Dengan gugup, aku menunduk, memberi hormat. "B-Bibi―Ah, maksudku Ratu Laura."
Wanita itu tertawa pelan, kemudian mengelus lembut pucuk kepalaku. "Tidak perlu kaku begitu, panggil saja seperti biasa."
Aku terkekeh, "Bibi baik-baik saja, syukurlah."
"Aku selalu baik-baik saja, Kena." Bibi Laura tersenyum hangat.
"Setelah kedatanganmu dan Yura ke Dimensi ini dua tahun lalu, Bibi Laura segera menyusul untuk memastikan keadaan kalian," jelas Flo tanpa kuminta.
"Ya, aku tahu." Aku tersenyum manis. Tentu saja aku tahu kenyataan bahwa Bibi Laura berhasil kabur dari kejaran Dark Witch―dimana kejadiannya sama saat penyerangan Dark Witch di perkemahan―tapi mungkin sayangnya Harpine tidak berhasil ikut serta melarikan diri bersama Bibi Laura.
"Kena," Bibi menyerahkan sebuah amplop putih kepadaku, membuatku bertanya-tanya apakah amplop ini ditujukan kepadaku atau tidak. "Untukmu," lanjutnya.
Dengan ragu, aku menerima amplop tersebut. "Engg ... ini apa, bibi?"
"Surat," jawab Bibi Yunasha dengan hangat. "Buka surat tersebut saat kau tiba di kamar asramamu.
Aku mengangguk menurut dan memasukkan amplop tersebut kedalam pocket. Ah, untuk informasi, dua tahun belakangan ini aku masih tinggal di kamar asrama sekolah. Yah, semua orang melakukan hal yang sama, namun ada juga beberapa yang memilih untuk tinggal di rumah masing-masing. Berhubung aku memang dicap tidak memiliki tempat tinggal sebelumnya―apalahi rumah―di dimensi ini, jadi aku tetap memilih tinggal di kamar asrama.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...