Ternyata tidak sulit melaksanakan rencana Lizzy. Aku, Lizzy, dan Hide mengendap-endap dari arah timur. Kelompok sasaran kami masih sibuk bertengkar. Jadi kami tak perlu khawatir mereka akan curiga. Kemudian Hide mulai menyuarakan suara geraman harimau, membuat mereka membisu mendadak.
"Kau dengar itu?" si gadis pirang merapatkan tubuhnya ke temannya.
"Jangan dekat-dekat aku, bodoh!"
"S-Siapa pula yang mau mendekat?"
"Hei, sudahlah," seorang gadis bersurai cokelat menatap sekitar dengan cemas. "Ini hutan sungguhan. Tidak dipungkiri jika ada hewan buas di sini. Bisa saja ada hellbeast yang berkeliaran."
"Kita hanya perlu melawannya! Kalian pengecut sekali!!"
"Sekarang," desis Lizzy.
Hide mengangkat kedua tangannya. Ratusan lebah mengumpul menjadi satu, lalu menyerbu kelompok itu tanpa ampun. Mereka menjerit-jerit histeris. Saat salah seorang dari mereka hendak merapalkan mantra pelindung, Travis melemparkan ramuan peledak di dekat mereka, membuat mereka terpukul mundur hingga menginjak bibir sungai. Aku berjongkok, hendak membekukan sungai. Namun Lizzy menahanku. Mengisyaratkanku untuk bersabar.
Lizzy mengulurkan tangannya. Sebuah batang pohon yang sudah tumbang melayang, lalu Lizzy mengarahkannya untuk membuat kelompok itu mundur lebih jauh ke sungai. Saat tinggi air sudah sepinggang mereka, barulah Lizzy memintaku untuk segera membekukannya. Tanpa diminta dua kalipun, aku segera menyentuh air sungai. Detik selanjutnya, air membeku, membuat mereka terjebak diantara bekunya air sungai. Lizzy kembali meletakan batang pohon secara perlahan, lalu keluar dari persembunyian. Gadis itu mengeluarkan belati dari ikat pinggangnya, berjalan mendekati si gadis bersurai pendek.
Wajah mereka sangat pucat. Seputih kertas. Mereka hendak melawan, namun gerakan mereka terkunci. Lizzy telah menggunakan kekuatan gravitasinya untuk menaikkan derajat gravitasi di tangan mereka agar tak dapat bergerak. Dengan tenang, Lizzy meraih tangan si gadis bersurai pendek, lalu memotong gelangnya.
Lizzy tersenyum miring, "Maaf ya. Tapi aku membutuhkan ini."
"Dasar gadis sial--"
Belum genap mereka mengucapkan umpatan, mereka telah lebih dulu menghilang. Diteleportasikan secara otomatis kembali ke sekolah.
Gelang kami berdenting pelan. Ada garis muncul di wajah gelang kami, menunjukan angka satu dalam bilangan romawi. "Satu sudah, sisa dua," Hide tersenyum puas.
"Jangan puas dulu. Bisa jadi setelah ini kita yang dieleminasi," aku mengingatkan.
"Aku sudah meminta para hewan di sekitar untuk memperingatkanku jika ada musuh mendekat," Hide berkata santai. "Omong-omong, lima ratus meter ke selatan, ada kelompok yang sedang bertarung. Lebih baik kita menjauh saja."
"Bagaimana kalau ke utara?" saran Travis.
"Di utara bersih. Tidak ada siapapun."
"Eeh, benarkah? Kalau begitu, kemana kemungkinan terbaik?" tanyaku.
Hide terdiam. Lelaki itu menatap ke udara, fokus mendengarkan kicauan burung. "Kata mereka, ada kelompok yang membakar di selatan. Kemungkinan itu kelompok Sena. Bisa bahaya jika kita bertemu mereka."
Lizzy mengangguk setuju. "Di sana ada Sora dan Juliet. Curang sekali."
"Kita ke tenggara saja. Tujuh ratus meter dari sini, ada kelompok yang sepertinya aman."
"Baiklah, ayo kita ke sana!"
***
"Mereka tampak kuat," bisik Lizzy saat kami sudah tiba di dekat lokasi kelompok sasaran kami. Ia menunjuk seorang gadis bersurai putih. "Dia memiliki kekuatan untuk menghilang. Dia sedikit mengancam."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...