Aku berjalan menelusuri hutan, bersama Flo di sampingku. Aku dan Flo kebetulan mendapat tugas mencari kayu bakar, sedangkan Yura, Juliet, dan Sora mendapat tugas di bagian konsumsi. Sebenarnya, Lizzy juga mendapat bagian mengumpulkan kayu bakar. Namun, gadis itu menolak saat kuajak mencari bersama.
"Kamu sedang banyak pikiran, ya?"
Sejujurnya, aku sedikit terkejut Flo menanyakan hal itu secara tiba-tiba. Aku memaksakan seulas senyum, lalu menggeleng pelan. "Tidak, kok. Aku hanya sedang berpikir ... malam ini cerah sekali, purnamanya bagus. Haha," aku tertawa hambar.
Flo menatapku insten, "Tapi sekarang bukan malam purnama, lho."
Tawaku tersumpal. Aku meringis pelan, menggaruk tengkukku yang tidak gatal.
"Kalau mau berbohong, lihat situasi dulu," Flo mendengus. "Aku tahu kamu sedang banyak pikiran. Kamu jadi sering melamun dan mendadak pendiam. Memang, banyak sekali hal yang terjadi belakangan ini."
"Iya," aku menyorot sendu, berjalan sembari menendang kerikil bercahaya yang ada di sekitarku. Hutan di pulau ini begitu indah. Kerikil-kerikil yang bertebaran di tanahnya bercahaya begitu diterpa cahaya bulan. "Sena juga masih sakit. Sayang sekali ya, dia jadi tidak bisa ikut ujian kelulusan."
"Eh?" Flo mengerjap, menatapku bingung. "Bukannya Sena sudah sembuh, ya?"
"Hah?" Aku balas menatap heran, penuh tanda tanya. "Bicara apa kau? Sena masih sa--" mulutku langsung tersumpal begitu melihat siluet seseorang dari kejauhan. Langkahku refleks terhenti. Cahaya lembut bulan yang membanjiri sekitar sehingga membuat kerikil-kerikil semakin bercahaya terang. Aku memicingkan mata, menajamkan penglihatan. Hingga akhirnya aku mengenali wajah lelaki yang berdiri tak jauh dari tempatku berpijak.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, mengusapnya, lalu kembali menatapnya. Pupil mataku mengecil, begitu terkejut akan kehadiran lelaki itu. Surai merahnya terlihat menyala di bawah sinar rembulan. Mata emerald-nya begitu menyorot tajam, seakan siap membakar apapun yang ada di dekatnya.
Tanganku bergetar, rasa sesak kembali menyerbu dadaku. "S-Sena?"
Sang pemilik nama hanya menatapku sekilas, lalu ia berlalu begitu saja meninggalkanku.
Aku hendak mengejar, namun sesuatu dalam diriku mencegahku untuk melakukannya. Entah mengapa, seakan jika aku mengejarnya, akan ada hal buruk yang menimpaku. Firasatku berubah tak enak. Namun, itu tak menutup kemungkinan bahwa saat ini aku sangat senang melihat bahwa Sena sudah sembuh, apalagi dia ada di sini. Itu berarti ikut ujian kelulusan, bukan?
"Sena sudah sembuh!" kataku dengan mata berbinar. Aku menoleh, menatap Flo yang masih menyorot tempat terakhir Sena berdiri. "Flo, Sena benar-benar sudah sembuh!"
"Ya ...," raut wajah Flo seakan mengeras, "Tadi aku bertemu dengannya di Kereta terbang. Dia duduk di belakangku."
"Wah, bagus kalau begitu!" Aku tersenyum lebar. "Lalu bagaimana? Kau menanyakan kondisinya? Bagaimana kabarnya? Apakah dia sudah bisa sekolah sepertì biasa?"
"Tidak, aku tidak bertanya."
"Eh? Kenapa?"
"Karena dia terlihat aneh," gumam Flo begitu lirih, sampai-sampai aku tidak mendengarnya dengan jelas.
"Karena ... apa? Bisa kamu ulangi?" tanyaku bingung.
"Ah, tidak," Flo tersenyum, menggeleng pelan. "Aku hanya tidak mau mengganggunya. Itu saja. Oh iya, sebaiknya kita segera mencari kayu bakar dan kembali. Malam semakin larut, nanti kita bisa dimarahi oleh Miss Rosseline." Gadis bersurai hitam legam itu menarik tanganku, mengajakku kembali melangkah. "Ayo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...