Path-21 : Dig Down

959 142 26
                                    

Sena menyenderkan tubuhnya ke senderan kursi di Ruang tunggu. Dia menatap kosong langit-langit Ruangan. Entah kenapa, ujian tetap harus berjalan meskipun ada kejadian aneh seperti tadi. Dinding sihir yang memisahkan antara Arena dua dengan Arena satu retak, lalu muncul sosok Kena yang sudah babak belur dari sana. Padahal, Hanz―yang merupakan bagian keamanan―sama sekali tidak mendapatkan radar aneh dari Arena dua. Di setiap Arena dipasang alat yang dapat mengirimkan sinyal saat ada murid yang terluka. Kata Romeo, kemungkinan terbesar adalah alat tersebut telah di-hack oleh seseorang.

Sena yang kebetulan mendapat Arena satu terkejut bukan main saat melihat kejadian tersebut lewat kaca Ruang tunggu yang terhubung langsung dengan Arena bertanding. Bagaimana mungkin kejadian seperti itu dapat terjadi di saat yang penting seperti ini? Saat ujian kenaikkan tingkat yang menyibukkan semua orang. Musuh benar-benar memanfaatkan momen ini. Dia pasti sudah tahu betul seluk beluk Sekolah.

Tidak ada yang dapat memungkiri, kalau musuh bisa jadi ada di sekitarnya.

Sena menghela napas pelan. Tadi Hanz dan Romeo sempat membujuknya untuk menetrlalkan sihir hitam Riana. Akan tetapi Sena menolak. Bukan karena semata-mata Sena membencinya―meskipun memang benar Sena sangat membenci gadis itu yang telah mencelakai Kena. Sena bukannya tidak mau, tapi Sena tidak bisa menetralkannya. Mungkin dia yang dulu bisa. Sekarang, mustahil.

Kekuatan netraler yang dimiliki Sena telah melemah karena telah digunakan untuk membuat kalung penetral. Setiap hari dia menciptakan 20 sampai 50 kalung penetral untuk diberikan kepada Clyde, lantas Clyde akan membagikannya kepada murid-murid.

Gejala yang ditimbulkan akibat terlalu banyak menggunakan kekuatan mulai Sena rasakan. Dia tidak bisa menetralkan serangan musuh lagi. Mungkin hanya mengurangi efek serangannya saja. Itu mengapa saat ujian kelompok, dia lebih banyak berdiam diri dan menyerahkan tugasnya kepada tim. Bukannya takut atau apa, tapi Sena hanya tidak mau jika yang lainnya tahu dan membuat mereka cemas.

Sena benci dikasihani, melihat pandangan mereka yang begitu merendahkan, hanya memintanya untuk bersabar tanpa berusaha untuk membantu. Itu memuakkan.

Entah sudah sejak kapan, kondisi fisik Sena mulai melemah. Staminanya tidak sekuat dulu. Jadi, mau tidak mau setiap pagi dia harus rutin berolahraga. Melelahkan, namun setidaknya berkat tindakannya dia dapat membantu untuk menghentikan sihir hitam yang menyebar di Sekolah.

Sena menoleh saat merasakan ada yang menepuk bahunya. Rautnya selalu datar seperti biasa. Dia terlalu malas untuk berekspresi, karena menurutnya merepotkan.

Yura yang menepuk bahu Sena setelah beberapa saat menyadari bahwa lelaki itu tampak memikirkan banyak hal. Tidak sulit untuk menerka isi pikiran dari wajah datarnya saat melihat tatapan lelaki itu yang begitu mematikan. Yura mengukir senyum hangat, "Jangan terlalu dipikirkan. Ayolah, kau harus semangat!" Rasanya aneh jika Yura mencoba menyemangati orang, padahal dia sangat benci disemangati. Tapi mau bagaimana lagi? Sena saat ini memang perlu asupan semangat dari orang lain. "Aku yakin Kena baik-baik saja. Dia sangat kuat! Kau ingat, dua tahun lalu saat dia disekap oleh Dark witch dan dia berhasil selamat? Itu sudah membuktikan betapa besarnya semangat hidupnya. Makanya, kamu juga tidak boleh putus asa!"

Sena mengulum senyum tipis, mungkin terlalu tipis sehingga membuat Yura mengira bahwa dia hanya berhalusinasi. "Iya ... aku tahu."

"Lantas, kenapa kerutan di keningmu itu begitu kontras?" Alis Yura bertaut. "Dari dulu hingga sekarang, saat kau merasa kesal, tatapanmu berubah menakutkan!"

"Maaf," Sena memejamkan matanya beberapa saat. Tanpa sadar sorotnya berubah.

"Untuk nomor peserta 57 harap untuk bersiap-siap. Sekali lagi untuk nomor peserta 57 harap untuk bersiap-siap, terima kasih."

The Tales: Broken PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang