Path-30 : The Festival (3)

844 100 38
                                    

Aku mengikat erat tali sepatuku. Setelah yakin bahwa tali sepatu yang kugunakan tidak akan lepas, aku beranjak berdiri. Kuayunkan tanganku ke samping, mencoba merenggangkan otot-otot yang keram. Turnamen telah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Aku masih duduk menunggu giliranku tiba di ruang tunggu yang disediakan.

Kulirik sosok Sena yang terduduk di sampingku. Pria itu duduk bersender ke kursi dengan tangan bersidekap. Raut wajahnya begitu keras―meski tidak sekeras tadi. Sepertinya mood-nya sangat buruk. Buktinya, dia belum tersenyum kepadaku sejak tadi.

Aku berkedip, kemudian menggeleng cepat. Apa yang aku pikirkan? Jelas Sena bukanlah tipe orang yang senang tersenyum. Yah ... meski terkadang dia tersenyum padaku. Tapi itupun jarang.

Suara sekitar berubah riuh. Karena penasaran, aku mengarahkan pandanganku ke sumber keributan. Di ruang tunggu ini, terdapat sebuah panel transparan yang menayangkan pertarungan di stadion. Lizzy terlihat di sana, sedang mencoba menjatuhkan lawannya dengan kekuatan gravitasi.

Ternyata, Lizzy lah yang menjadi sumber keriuhan. Gadis itu begitu cekatan dan kuat meskipun lawannya adalah seorang laki-laki. Lizzy memang lumayan populer, itu mengapa banyak yang mendukungnya baik di ruang tunggu, maupun di tribun penonton.

Teriakan semakin bising begitu Lizzy berhasil melempar lawan keluar dari lingkaran pertarungan. Lizzy menang. Tanpa sadar, aku ikut bertepuk tangan.

"Wah, Lizzy keren!" sahutku kagum, "Apakah aku akan menang, ya?"

"Tentu saja kau harus menang," balas Sena tanpa disangka-sangka. Aku menoleh, menatap Sena dengan raut penasaran.

"Kenapa aku harus menang?"

"Kau lupa dengan perjanjian kita?"

"Perjanjian?" Aku terdiam, sebelum akhirnya menjentikkan jari karena teringat dengan perjanjian yang kubuat bersama Sena. "Ah, iya! Kita akan bertarung, 'kan? Kalau aku menang, ajak aku ke Toko kue, ya!"

Sena melirikku lewat ekor matanya, lalu tersenyum tipis. Begitu tipis, hingga kupikir bahwa aku hanya berhalusinasi. "Tanpa kau mintapun, aku akan mengajakmu," gumannya pelan.

Keningku mengerut, "Eh? Apa? Kau mengatakan sesuatu?"

"Ah, tidak." Dia menggeleng pelan. "Kena, apa kau lapar?"

"Uh ... sedikit," jawabku jujur, "Aku lupa sarapan karena terlalu bersemangat. Mungkin setelah ronde pertama, aku akan mencari sesuatu untuk dimakan."

"Kau tidak akan menang dengan perut kosong," tegur Sena tak senang. Lelaki itu mengaktifkan pocket-nya, lalu mengeluarkan sebungkus plastik dari sana. "Sebenarnya, aku hendak memberimu ini setelah pertarungan selesai. Tapi ... sudahlah." Dia menyerahkan bungkusan tersebut kepadaku.

Aku menerimanya dengan sebelah alis terangkat. "Apa ini?"

"Untukmu," dia terdiam sesaat, "Untuk sarapan?" lanjutnya tak yakin.

Aku menatap plastik putih yang membalut sebuah kotak. Kubaca sekilas tulisan yang tertera di plastik itu. "Magic Bakery?" bacaku. Aku mendongak, menatap tepat di manik emerald Sena dengan mata berbinar-binar. "Uwah! Ini kue dari Toko yang baru dibuka itu, 'kan? Terima kasih!!"

"Hm. Sama-sama."

Dengan cepat, aku segera membuka bungkusan tersebut. Aroma manis menyeruak memasuki indraku tepat setelah aku membuka tutup kotaknya. Kutatap kue-kue dengan berbagai varian rasa. Cokelat yang meleleh di setiap kue terlihat begitu menggugah selera. Aku mengambil satu kue, kemudian segera memakannya sekali lahap. Manis.

"Makannya jangan tergesah-gesah," tegur Sena.

"Tapi ini lezat sekali!" Aku tersenyum lebar. Makan makanan manis memang selalu bisa membuatku senang. Sesederhana itu.

The Tales: Broken PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang