Tok! Tok! Tok!
Keningku terlipat, kutatap pintu kayu berwarna cokelat dengan nomor kamar yang begitu kuhafal. Aku kembali mengangkat tangan, mengetuk lagi pintu itu entah untuk yang kesekian kalinya.
Hening, tak ada tanda-tanda sedikitpun bahwa pintu itu akan terbuka. Kulirik arloji yang melingkari pergelangan tanganku, kakiku sudah terhentak-hentak gelisah. Kenapa Lizzy masih belum keluar dari kamarnya? Padahal, sebentar lagi para murid senior akan segera berangkat ke pulau!
"Lizzy! Hei, buka pintunya!" aku mulai memanggil, mencoba mengabaikan beberapa orang yang bersungut-sungut karena merasa tidurnya terganggu olehku di pagi buta seperti ini. "Lizzy! Lizzy, kau di dalam? Aku masuk, ya!"
Aku memutar kenop pintu, lalu menghela napas pelan. Seperti dugaanku, pintu kamar Lizzy tidak terkunci. Aku melangkah memasuki kamar yang tidak kalah berantakan sejak terakhir kali aku datang ke sini. Pandanganku terkunci pada sosok Lizzy yang masih bergelung di dalam selimut, sedangkan dia sama sekali belum berkemas.
"Astaga!" Aku berjalan dengan langkah terhentak-hentak. Kutarik selimut dari tubuh Lizzy dengan sedikit kasar. "Lizzy! Apa-apaan ini?! Ayo cepat, bersiap!!"
"Hngh," Lizzy melirik malas. "Kembalikan selimutku," dia mengulurkan tangannya, mencoba merebut kembali selimutnya.
Aku menjauhkan selimut itu dari jangkauan Lizzy, melemparnya ke sembarang arah. "Lizzy! Cepat bangun dan berkemas!"
"Ck, memangnya kenapa?"
"Hari ini ujian kelulusan!"
"Lalu?"
Dapat kurasakan emosiku mulai memuncak. Aku mengatur pernapasanku, berusaha agar tetap bersikap tenang. Kutarik tangannya, membuat tubuhnya beranjak duduk. "Ayo, berkemas! Aku akan memaksamu sampai kau bangun!"
"Ugh, baiklah, baiklah!" Lizzy menepis tanganku, bersungut-sungut sebal. "Menyebalkan," gumamnya.
Aku menahan napas, hanya bisa merapatkan bibir. Biasanya, Lizzy lah yang membangunkanku. Namun saat ini situasinya terbalik. Justru aku yang marah-marah dan membangunkan Lizzy, sedangkan Lizzy terlihat sebal.
Aku membuka lemari Lizzy, menatap tumpukan baju yang masih kusut dan tidak terlipat rapi. Benar-benar bukan seperti Lizzy yang perfeksionis. "Kau mandi saja, biar aku yang berkemas," titahku.
"Baiklah, terserahmu saja."
Lizzy memasuki kamar mandi, suara air mulai terdengar. Aku menggertakkan rahang, kugenggam kuat-kuat gagang lemari kayu milik Lizzy. Aku berusaha mati-matian menahan air mataku agar tidak pecah. Kenapa ... persahabatan kami jadi seperti ini? Kenapa Lizzy berubah hanya karena ditolak Ryan?
Apakah cinta memang semengerikan itu?
Kalau cinta memang menakutkan, aku jadi takut untuk jatuh cinta.
Jangan pernah jatuh cinta. Karena sesuatu yang jatuh, pasti akan hancur.
Cinta memang mengerikan.
***
Aku duduk di atas tempat duduk kereta terbang. Di sekitarku telah dipenuhi para murid kelas senior yang lainnya. Sekolah telah menyewa satu unit kereta terbang khusus untuk para murid kelas Senior. Saat ini, kami sedang dalam perjalanan menuju pulau yang bernama Exanted Island.
Entah apa yang menunggu kami di sana, aku tidak tahu. Sekolah merahasiakan ujian apa saja yang akan kami lalui. Perjalanan juga memakan waktu yang cukup lama. Ini sudah siang, dan kami masih dalam perjalanan. Bahkan Yura yang duduk di sampingku sudah terlelap, bersender ke bahuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...