Path-41 : Heart

799 108 56
                                    

Penyesalan bukanlah sebuah malapetaka.

Bukan juga sebuah asa yang telah terputus di kala bencana telah menimpa.

Namun penyesalan adalah sebuah rasa yang selalu datang di akhir, lantas merenggut semua pikiran hingga terpusat kepada kata "Andai".

Pengandaian tidak akan pernah terjadi. Tidak setelah rasa yang disebut penyesalan itu tiba. Mengulang waktupun, tidak akan menyelesaikan masalah.

Jika waktu terulang, mungkin saja kejadiannya akan lebih mengerikan dari ini. Tak ada yang tahu, 'kan?

Aku tak tahu apa yang lebih tepatnya sedang kupikirkan. Bersamaan dengan tubuhku yang terjun bebas, pikiranku ikut berderai kacau.

Mataku terpejam erat, aku terlalu takut untuk melihat. Kudekap tubuh Sena, takut kehilangannya untuk yang kedua kalinya. Kulitku terasa terbakar. Semakin lama, rasa panas semakin mendekat.

Butuh berapa detik lagi sampai tubuh kami menyentuh lautan lava?

Entah ini hanya khayalanku saja, namun aku merasa tubuhku menghantam sesuatu. Cukup menyakitkan, namun tidak terasa panas. Bulu-bulu lembut dapat kurasakan melalui kulitku.

Apa ini? Apakah aku sudah mati?

"Kena!"

Aku sontak membuka mata. Sorot mataku langsung terfokus kepada sosok seorang lelaki bersurai navy dengan iris heterokrom. Butuh beberapa saat bagi otakku untuk memproses, hingga akhirnya aku mengenali lelaki itu. "H-Hide?!"

Hide menatapku, tersenyum lega. "Syukurlah, kami berhasil menangkap kalian tepat waktu."

Tunggu, kami?

Segera, aku melihat ke sekitar. Saat ini, kami tengah berada di atas sesosok burung hantu raksasa dengan bola mata senada dengan milik Hide. Persekian detik berlalu, dan akhirnya otakku selesai mencerna sesuatu. "Tunggu, ini ..."

"Kau benar, kita berada di atas Ciel," Hide tertawa pelan. "Ciel bisa berubah menjadi burung hantu raksasa. Beruntung, aku berhasil melepaskan diri dari sihir Coctyus, dan Ciel bisa menangkap kalian tepat waktu."

Aku tertegun, kemudian mendongak. Kutatap Sena lamat-lamat. Mata lelaki itu masih terpejam erat di pangkuanku. Aku menggigit bibir bagian bawahku, mencoba menahan air mata yang kian berdesakkan keluar.

Aku ingin menangis. Aku tidak tahan melihat kondisi Sena seperti ini.

Kenapa ... aku begitu lemah? Kenapa aku tidak bisa menolong Sena?

Pertanyaan tersebut terngiang-ngiang di kepalaku, menamparku hingga ke dasar jurang keputus asaan. Kenyataan bahwa aku begitu lemah hingga tak bisa menyelamatkan orang-orang di sekitarku memang benar adanya.

Ciel membawa kami kembali ke tempat teman-temanku berada. Kaki mereka masih membeku oleh sihir Coctyus, namun seiring berjalannya waktu, sihir tersebut menghilang dengan sendirinya.

Hal tersebut membuatku berpikir, mungkin saja Coctyus tidak serius melawan kami.

Dia terlalu merendahkan kami. Dia bahkan membiarkan sihirnya pudar. Dia ... terlalu angkuh.

Aku menggepalkan telapak tanganku hingga buku-buku jemariku memutih. Rasanya aku ingin marah, namun kepada siapa?

Kepada siapa aku harus menumpahkan seluruh emosiku?

Kejadian yang telah terjadi hari ini membuat pihak sekolah memutuskan untuk memulangkan kami lebih awal, beserta ratusan siswa kelas Amature lainnya. Kami kembali ke Akademi dengan kabar buruk yang siap mengguncang satu dimensi.

The Tales: Broken PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang