Aku menunduk, menopang wajah dengan kedua telapak tangan. Meskipun dalam posisi duduk, aku tetap merasa kelelahan. Aku lelah memikirkan semua ini, aku muak memikirkan hal-hal negatif yang mungkin saja terjadi.
Kutatap wajah Sena yang masih memejamkan mata, seakan enggan untuk terbuka. Aku menggigit bibir bagian bawahku, rasanya menyakitkan melihat Sena dalam kondisi seperti ini. Kenapa? Kenapa semua ini harus terjadi padanya?
Aku menggenggam erat telapak tangan Sena. Begitu dingin, tidak seperti biasa. Kutatap sekali lagi wajah Sena yang begitu teduh, hingga pandanganku teralih kepada sesuatu yang janggal pada leher Sena.
Mataku mengerjap, aku memicingkan mataku, mencoba membuat penglihatanku semakin tajam. Pada leher Sena, terdapat sebuah luka bakar berbentuk garis panjang dengan lengkung di sekitarnya. Terlihat samar, tapi dapat kutangkap dengan jelas.
Suara berderit yang berasal dari pintu membuatku menoleh. Pintu terbuka pelan, menampilkan sosok seorang pria tua namun tetap terlihat segar. Garis wajahnya begitu tegas, tapi terlihat ramah. Aku jelas mengenalnya, dapat terlihat jelas dari mahkota emas yang melingkari kepalanya. Dia adalah Raja Raven, Ayah kandung Sena.
Aku refleks berdiri, mengangkat sedikit rokku, kemudian menunduk kecil, memberi hormat. Raja Raven membungkuk kecil, membalas hormatku. Pria itu mengalihkan tatapannya pada sosok Sena yang terbaring di atas ranjang ruang kesehatan, sebelum akhirnya kembali menatapku--meminta penjelasan.
Seketika, aku menjadi gugup. "S-Sena ... Sena tidak sadarkan diri setelah pertarungan," aku memain-mainkan jemari, menunduk diselimuti penyesalan. "Ini salahku, andai aku yang memenangkan pertarungan melawannya, pasti aku yang saat ini berada di posisi itu, bukan Sena."
Raja Raven tersenyum ramah, garis halus di wajahnya semakin kontras. Dia berjalan mendekat, menepuk pelan kedua pipiku. "Tidak ada yang menyalahkanmu, Kena," katanya hangat. "Sena seperti ini memang sudah jalannya. Tidak ada yang dapat menghindari takdir."
"T-Tapi ... dia seperti ini juga karena terlalu banyak membuat kristal penetral," ujarku dengan suara bergetar.
"Aku tidak marah," Raja Raven menatap Sena dengan tatapannya yang lembut. "Sena ... sudah berusaha keras sejauh ini. Dia sudah banyak berkorban. Aku bangga padanya."
Aku tersentak dalam diam, sedikit terkejut atas perkataan Raja Raven yang di luar dugaan.
"Aku akan membawa Sena kembali ke Istana. Kalau kau mau, kau bisa menunggunya hingga Sena sembuh, Kena. Apa kau bersedia?"
"A-Aku akan menunggu sampai Sena sembuh!" kataku serius. "Aku akan menunggunya, sampai kapanpun!"
"Nah, bagus," Raja Raven tersenyum. Dia menoleh, menatap ke arah luar jendela. "Hari mulai gelap, sebaiknya kau kembali ke Asramamu. Sedangkan aku akan mengurus Sena di sini."
Meskipun sempat membantah, pada akhirnya aku menuruti peringah Raja Raven. Aku berjalan ke luar ruang kesehatan dengan lesu, menatap lorong bangunan yang mulai menggelap, hanya mengandalkan cahaya oranye dari langit senja yang masuk melalui celah jendela.
Raja Raven benar, aku tidak boleh terlalu cemas. Sena akan baik-baik saja. Sena akan siuman setelah dua bulan.
Sedangkan aku, harus bersiap dengan ujian kelulusan yang akan digelar dua bulan lagi, bertepatan bersama kabar baik tentang Sena.
***
Dua bulan telah berlalu, dan banyak sekali perubahan di sekitarku. Hidupku berasa kelabu, tak seindah dulu.
Lizzy berubah menjadi gadis yang pemurung. Dia bahkan terlihat tidak bersemangat menjalani hari-harinya di sekolah. Yura bahkan sampai berkali-kali mencoba menghibur Lizzy, tapi hasilnya nihil. Sebegitu sakitnya kah Lizzy karena Ryan?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...