Path-08 : Power Explain

1.1K 143 25
                                    

"Kata Hera, kau mencariku."

Aku menatap lelaki bersurai merah yang tengah sibuk membaca buku kuno yang tebalnya melebihi kamus. Ia mendongakan kepalanya demi menatapku, kemudian mengangguk pelan. "Iya."

Lelah berdiri, aku menarik kursi di sampingnya dan duduk di sana. "Ada apa memanggilku?"

"Ada yang ingin kukatakan." Lelaki itu menatap buku yang tengah dibacanya. Cukup lama, hingga membuatku gemas sendiri karena armosfer sekitar berubah canggung.

Untuk mencairkan suasana, aku mencoba berbasa-basi. "Kamu menyukai musim dingin?" Entah mengapa hanya topik itu yang terbesit di benakku. Katanya, pixieball itu cerminan dari diri kita sendiri. Berarti Hera menyukai musim dingin, Sena juga menyukainya? Entahlah. Tidak semua sifat yang ada di pixieball itu sama. Buktinya Xia-xia begitu cerewet, sedangkan aku tidak. Dan lagi, Sena? Si lelaki tripleks ini menyukai musim dingin? Jangan bercanda.

Aku tertawa dalam hati. Mana mungkin kan Sena menyukai musim dingin?

"Iya, dari mana kau tahu?"

Berbanding terbalik dengan dugaanku, hal tersebut membuatku bungkam. "Eh? Serius?! Kok aku baru tahu?"

"Kupikir kau sudah tahu?" Sena menatapku tanpa ekspresi--seperti biasanya. "Aku menyukai musim dingin."

Aku mengangguk-angguk, mengerti. "Kalau begitu, kamu menyukai sesuatu yang dingin, ya?"

Sena menutup bukunya, kemudian mengangguk pelan. "Iya, semacam itu."

Sebuah ide meluncur mulus di benakku. Aku meletakan telapak tanganku di atas kepala Sena, kemudian mengusapnya perlahan.

Sena tampak tersentak, terkejut dengan apa yang kulakukan. "A-Apa yang kau lakukan?"

Aku memiringkan kecil wajahku, "kamu suka sesuatu yang dingin, kan? Tanganku selalu dingin, lho. Kan biasanya kamu selalu menghangatkanku, jadi sekarang gantian aku mendinginkanmu."

Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, Sena menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan. Wajahnya tampak begitu merah. "Hm. Terima kasih."

"Bukan masalah!" Aku menyengir lebar. "Habisnya kamu terlalu hangat, sih."

Dia memalingkan wajahnya, "tidak juga."

"Bohong!" sanggahku. "Buktinya wajahmu merah! Kalau berdasarkan buku yang kubaca, merah itu selalu berhubungan dengan api. Itu berarti kamu kepanasan!"

Iris emerald-nya melirikku sekilas, sebelum akhirnya dia kembali menatap ke lain arah. "Kau yang membuatku memerah."

"Huh?" Aku menarik kembali tanganku dari kepala Sena. "Benarkah? Setahuku kekuatanku es. A-Apa jangan-jangan kekuatanku berubah menjadi api, ya?"

Di luar dugaanku, Sena terkekeh pelan. "Mana mungkin."

Melihat Sena tertawa seperti itu, membuat senyumku mengembang. "Tapi bisa saja, kan?"

"Tidak. Kau itu dingin." Sekarang Sena yang meletakan telapak tangannya di pucuk kepalaku, kemudian mengelusnya pelan. Hangat. Dia memang selalu hangat. "Biar kuhangatkan."

"Kamu hangat sekali," Aku tersenyum lebar. Tanganku meraih telapak tangannya yang sedang mengelus kepalaku, kemudian menariknya dan meletakkan telapak tangan Sena di pipiku. "Hangat sekali! Aku suka sesuatu yang hangat!"

Sena tampak sedikit salah tingkah, kemudian menarik telapak tangannya dari pipiku. "Erm, ya." Dia kembali membuka bukunya, tampak kembali menyibukkan dirinya sendiri kepada deretan huruf di atas kertas kusam buku itu.

The Tales: Broken PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang