Tuk.
Flo menengadahkan kepalanya, menatap langit biru dengan sorot hampa. Sebutir salju turun dari langit, hancur lebur begitu saja tatkala menghantam pucuk kepalanya.
Salju berwarna putih suci, begitu rapuh, dapat dengan mudah terkontaminasi keruh. Begitu pula dengan hati manusia.
Pada awalnya, tak ada hati manusia yang hitam, semuanya pasti putih. Namun karena rasa sakit yang menghancurkan, maka hati mereka dengan mudah ternodai dengan hal-hal kotor.
Hanya segelintir dari mereka yang tetap bertahan, meski tersakiti, tetap menjaga kebaikkan yang tersisa.
Gadis bersurai hitam lurus itu masih menatap langit, tak memiliki niat untuk melangkah pergi barang sedikit. Di pelukkan gadis itu, terdapat beragam material sihir yang baru saja ia cari.
Flo, selama beberapa hari terakhir mati-matian melakukan eksperimen di laboratorium sekolah, berharap dapat menemukan ramuan untuk menetralisir racun Lizzy dan Sena.
Flo tidak tahan, melihat teman-temannya yang lain sedih. Flo tidak suka melihat Sena dan Lizzy terbaring tak berdaya di atas ranjang seperti tiada nyawa. Kenapa harus Sena dan Lizzy yang merasakannya? Kenapa tidak dia saja??
Memikirkannya saja membuat Flo hampir gila.
"Sini, biar kubantu."
Flo mengarahkan pandangannya kepada sosok lelaki bersurai perak di hadapannya. Lelaki itu memindah tangankan sebagian barang yang Flo bawa. "Tidak usah," ucap Flo lirih, nyaris menyerupai bisikkan. "Aku bisa sendiri."
"Jangan bersikap seolah keberadaanku di sini tidak berguna." Val mendengus, tetap mengambil alih barang-barang yang Flo bawa. "Kamu mau ke Laboratorium, 'kan? Kebetulan aku juga mau ke sana. Ayo kita lanjutkan eksperimen kita yang kemarin."
Flo hanya terdiam, tidak menyahut.
Val mulai melangkah. Namun ketika ia tak merasakan Flo mengekorinya, lelaki itu kembali menghentikan langkahnya, menoleh.
"Kenapa? Ayo kita ke Laboratorium--"
"Val," sela Flo, membuat Val sontak mengatupkan mulutnya. "Aku ... mulai berpikir untuk menyerah."
Val terlonjak. "Apa yang kamu katakan? Kamu menyerah?"
Flo menunduk, menatap kedua pasang kakinya yang memijak rumput taman sekolah. "Aku ... bukannya tidak kasihan kepada Sena dan Lizzy. Tapi, aku putus asa. Kita sudah mencoba ratusan kali, akan tetapi tidak ada satu pun ramuan yang bisa menyelamatkan mereka." Setetes air mata yang tak lagi bisa ia bendung mulai meluncur dengan mulus di pipinya. "Kupikir ... semua usaha kita selama ini sia-sia."
"Flo," Val menatap intens. "Hapuskan kata 'menyerah' dalam kamusmu. Meskipun sulit, meskipun menyakitkan, jangan pernah menyerah. Kau takkan bisa meraih apapun setelah menyerah. Teruslah mencoba."
Flo mengangkat kepalanya, menatap Val, tidak percaya bahwa laki-laki itu berkata sedemikian rupa.
"Flo, aku yakin kita bisa. Entah kapan, entah bagaimana caranya. Kita pasti bisa."
Mendengar hal itu, senyum mengembang di bibir merah gadis itu. Flo menyeka air mata di pipinya. "Maaf karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Kau benar, Val. Kita tidak bisa meraih apapun jika menyerah."
Val tersenyum. "Nah, kalau kau tersenyum, 'kan semakin manis."
Flo meninju pelan lengan Val, tersenyum miring. "Di saat seperti ini, kamu masih saja bercanda."
"Agar suasana tidak tegang saja," jawab Val. "Nah, ayo kita Laboratorium. Aku masih penasaran dengan eksperimen kita yang kemarin."
"Oke," Flo mengangguk. Baru saja mereka hendak melangkah pergi, suara notifikasi dari pocket milik Flo menghentikan langkah mereka. Flo mengerutkan keningnya. Siapa pula yang mengiriminya pesan? Karena penasaran, maka Flo mengaktifkan pocket-nya, memeriksa pesan masuk. Sesaat setelah membaca pesan tersebut, mata Flo melebar. "V-Val!" panggil Flo tergagap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...