Satu jam sebelumnya ...
"Bye-bye!" Alice melambaikan tinggi tangannya, bibirnya menyungging begitu lebar. Diperhatikannya sosok seorang lelaki berambut landak, balas melambaikan tangan, acuh tak acuh.
Mungkin, Alice memang kurang beruntung memiliki patner secuek Keichi. Tapi, di sisi lain Keichi adalah salah satu dari murid yang menduduki peringkat seratus besar murid terkuat. Sangat cocok sekali kolaborasi kekuatan mereka.
Tadi, Keichi baru saja menemui Alice untuk meminta maaf karena tidak bisa menjaganya dengan baik. Tentu Alice tahu bahwa mungkin saja seseorang memaksa Keichi untuk meminta maaf. Mana mungkin Keichi mau minta maaf atas inisiatifnya sendiri. Dia orang berego tinggi.
Namun tetap saja Alice merasa lega. Setidaknya, kini hubungannya dengan Keichi bisa kembali seperti sedia kala.
"Tadi itu siapa?"
Alice terhenyak, sontak menoleh menuju sumber suara. Gadis itu merasa sedikit terkejut begitu mendapati Hanz yang entah dari mana datang menghampirinya. Alice menggeleng pelan, "Tadi itu patnerku."
"Oh," Hanz termangut mengerti. "Patnermu, ya ... kalau tidak salah namanya Kei... hi?"
"Keichi," ralat Alice. "Yup, dia patnerku. Memangnya kenapa? Kau cemburu?" Alice tertawa hambar begitu menyadari betapa konyolnya pertanyaannya barusan.
Hanz memiringkan kecil kepalanya. "Huh? Kenapa harus cemburu?"
"Aah, sudah. Lupakan," Alice menghentikan topik pembicaraan ini sebelum mengembang tidak jelas. "Oh iya, Hanz. Apa aku sudah boleh kembali ke Kamar Lizzy malam ini?"
"Mungkin belum. Kau harus menjalani beberapa tes lagi, baru boleh kembali."
"Ugh, tes itu ...," Alice mengembungkan kedua pipinya. "Tes menyebalkan. Tak bisakah cukup sampai di sini? Aku malas sekali menjalani tes itu."
"Yah, ini demi kebaikkan kita," Hanz menjeda, "Kebaikkanmu."
Alice menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Percuma saja berdebat dengan Hanz, karena Hanz selalu kukuh pada apa yang dianutnya. "Baiklah-baiklah. Tapi, sekarang apakah aku boleh menonton turnamen di gedung olahraga? Aku bosan, sungguh."
Hanz tampak berpikir sesaat. "Tapi menurutku sebaiknya jangan ..."
"Ayolah," bujuk Alice. Wajahnya memelas seperti anak anjing yang belum diberi makan. "Hari ini saja."
"Baiklah," Hanz menghela napas panjang. "Hari ini saja."
"Yey!" Alice melompat girang. Gadis itu menyambar telapak tangan Hanz, menarik lelaki itu pelan. "Kalau begitu, ayo! Aku tidak sabar melihat pertarungan Sena. Kata Flo, dia masuk final!"
"Hm, sejujurnya aku juga penasaran," sebelah alis Hanz terangkat. "Aku ingin melihat bagaimana Sena bertarung melawan--"
"ASTAGA!"
Suara jeritan melengking dari dalam gedung olahraga, bahkan dapat terdengar oleh Hanz dan Alice yang berjarak sekitar lima meter dari sana. Hanz dan Alice saling bertatapan, kemudian mereka segera berlari memasuki gedung olahraga.
Suasana gedung olahraga heboh. Desas desus bisikkan panik terdengar dimana-mana. Hanz dapat melihat dengan jelas, Romeo berlari tergopoh-gopoh bersama beberapa anggota badan kesehatan menuju tengah arena pertarungan.
Hanz dan Alice mendekat agar dapat melihat lebih jelas siapa yang sedang berusaha mereka tangani. Kedua mata Hanz membola, melotot lebar begitu mendapati sosok seorang lelaki berambut merah menyala sedang dipapah menuju pinggir arena.
Dengan cepat Hanz segera menghampiri Romeo, membantu memapah Sena ke pinggir arena. "Apa yang terjadi?!" Hanz bertanya panik, air wajahnya menunjukkan rasa cemas yang begitu kontras.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...