Waktu memang berjalan begitu cepat. Tanpa sadar, besok adalah hari digelarnya Festival Luminas.
Kemarin lusa, aku―ditemani Yura dan Lizzy―sudah mendaftarkan diri sebagai peserta Festival kepada Miss Rosseline―selaku panitia utama. Sebenarnya yang mendaftar hanya aku dan Lizzy saja, sedangkan Yura lebih memilih untuk menemani kami. Orang itu sama sekali tidak tertarik untuk memperebutkan ranking terbaik. Kalau ada cara untuk mendapatkan hadiah tanpa bertarung, pasti sudah dia lakukan, begitu katanya.
Aku mendapatkan nomor peserta ke-6, dan aku akan melawan siapapun yang memiliki nomor peserta ke-80. Aku dan Lizzy memang sengaja mendaftar lebih dulu agar mendapat nomor peserta awal. Tapi sepertinya hal itu tidak terlalu berguna. Buktinya, aku yang memiliki nomor peserta awal justru melawan nomor peserta ke-80.
Sistem duel di festival ini seperti turnamen. Siapapun yang menang, maka akan dilawan lagi oleh pemenang. Jadi, total keseluruhannya adalah 5 lap. Festival diberlangsungkan di gedung olahraga. Kesimpulannya, jika aku menang setiap pertandingan, maka aku harus bertarung 5 kali lagi untuk mencapai final.
Lap 1, 2, dan 3 akan berlangsung besok. Sedangkan lap 4, 5, dan final akan berlangsung lusa. Peserta yang mendaftar mengikuti pertarungan hanya sekitar 100 orang. Sisanya, mereka lebih memilih untuk menikmati acara yang tersedia selama festival berlangsung. Aula sudah disulap menjadi panggung, dan akan ada acara pementasan di sana. Setiap kelas membuka apapun sebagai sarana hiburan. Ada yang menyulap kelas mereka menjadi cafe, permainan, bahkan pertunjukkan sihir. Tentu saja, kelasku membuka cafè skating seperti saran Rumi. Dan dengan sangat-sangat-sangat terpaksa, aku harus menyumbangkan kekuatanku untuk membekukan lantai kelas.
Setiap sudut sekolah telah dihias sedemikian rupa. Banyak renda dan pita bertebaran di langit-langit ruangan. Gedung olahraga―tempat berlangsungnya pertarungan―juga tak kalah meriah. Gedung olahraga telah difasilitasi dinding anti sihir agar efek-efek pertarungan tidak sampai mengenai penonton. Agar tidak terulang kejadian yang menimpa diriku, para guru membuat dinding anti-sihir yang tranparan―yang seharusnya mereka membuatnya sejak dulu. Aku memang masih merasa kesal, tapi biarlah. Yang berlalu biarkan berlalu.
"Kena!"
Aku menoleh saat merasa namaku terpanggil. Clyde berjalan menghampiriku dengan senyum cerah di wajahnya. Akan tetapi, aku tahu bahwa dia sedang tidak secerah senyumannya. Kantung hitam tebal yang bertengger di bawah pelupuk matanya telah menjelaskan segalanya. "Clyde? Ada apa?"
"Ah, tidak!" Clyde meraih tanganku begitu dia sampai. "Aku hanya ingin menyemangatimu. Besok kau akan bertanding, 'kan?"
"Uh? Iya," jawabku sedikit bingung, "Terima kasih."
"Ini," Clyde mengikatkan seuntai gelang di pergelangan tanganku, membuat keningku berkerut dalam. "Anggap saja ini jimat keberuntungan dariku. Kau selalu memakai kristal penetral, 'kan?"
"Uh ... iya?"
"Bagus. Jangan pernah dilepas, ya!"
"Tunggu!" Aku mencegah Clyde sebelum gadis bersurai merah menyala itu berlalu pergi. Clyde mengangkat sebelah alisnya, menatapku penuh tanda tanya. "Kenapa kamu akhir-akhir ini jarang kutemui?" pertanyaan ini memang sudah lama berkecamuk di benakku. Dan akhirnya, berhasil kutumpahkan sekarang.
Alih-alih menjawab, Clyde justru tersenyum misterius. "Aku memiliki kesibukan, Kena," katanya lirih, nyaris menyerupai bisikan. "Kau mempercayaiku, 'kan?"
Mengapa Clyde berkata seperti itu? Tentu saja aku mempercayainya. Dengan ragu, aku mengangguk kecil.
"Nah, bagus kalau begitu," Clyde melambaikan tangannya kepadaku, "Sampai nanti!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...