Aku menelusuri keramaian pesta, melewati panjangnya lorong Istana yang dipenuh sesak oleh orang-orang. Tak sedikit yang menyapaku dan mengajakku berbincang, membuatku terpaksa ikut masuk ke dalam beberapa obrolan ringan. Setelah berusaha sekuat mungkin untuk keluar dari kerumunan itu, aku akhirnya sampai di Taman istana dengan helaan napas lega.
Udara Taman yang begitu segar menerpa kulitku. Dingin. Sama seperti dulu.
Siluet seseorang terlihat dari kejauhan, membuatku melangkahkan cepat kakiku ke arahnya sehingga siluet itu tampak terlihat lebih jelas. Seorang lelaki yang dibalut tuxedo hitam malam berdiri gagah di sana, membelakangiku dan tampak sedang menatap air mancur yang mengalir membawa ketenangan di antara riuhnya pesta.
"Hei, sudah lama menunggu?" Aku menyapa begitu tubuhku sudah berada tepat di sampingnya.
Lelaki itu menoleh, dengan ekspresinya yang begitu khas dan tidak pernah berubah dari dulu. "Iya."
Aku mendengus pelan, "kamu itu terlalu jujur, ya?"
Alih-alih menjawab, dia justru hanya terdiam sembari menatap air yang masih menari-nari di pancuran air mancur besar berwarna putih bersih. Beberapa Love bird dan angsa tampak sedang asyik bermain di atas permukaan air yang bening. Siulan dari burung-burung yang hinggap di dahan pohon menghiasi suasana Taman yang sedikit sunyi, hanya terdengar sayup-sayup lagu keras dari pesta di Aula.
"Kau tahu, aku memutuskan akan tetap tinggal di Kamar Asramaku hingga aku lulus kelas Senior!" Aku berujar riang. Menceritakan tentang kehidupan sehari-hariku kepadanya sudah menjadi rutinitasku sejak setahun lalu. "Kau juga akan tetap tinggal di Asrama, kan?"
Dia mengangguk. "Yang lain juga."
"Aku tahu," aku mengulaskan senyum lebarku. "Flo dan Yura sudah memberi tahuku bahwa mereka dan lainnya akan tetap tinggal di Asrama. Katanya kamar Asrama lebih nyaman dibanding Istana megah mereka yang selalu sepi."
"Ya," lelaki itu mengangguk mengerti. "Benar."
"Apanya yang benar, huh?"
"Mereka."
Aku menghela napas panjang, kemudian tergelak. "Kau tetap irit bicara seperti biasanya ya, Sena."
Sena hanya terdiam, tanpa menampilkan segaris lengkunganpun di wajahnya. Ekspresinya yang datar membuatku selalu kesulitan menebak suasana hatinya. Aku harus sedikit berhati-hati padanya. Bisa saja dibalik ekspresinya yang sedatar papan tripleks itu, dia diam-diam menyimpan dendam padaku kan? Tidak ada yang tahu.
"Bagaimana dengan latihanmu?"
Pertanyaan yang terlontar dari mulut Sena sontak membuatku mendongakkan kepalaku, demi menatap wajah tegas lelaki itu. "Huh? Latihan berpedangku? Oh, baik. Sekarang aku sudah bisa mempraktikkan skill-skill tertentu!" ucapku dengan wajah bangga.
Sena menatapku sesaat, kemudian tersenyum tipis. "Kerja bagus."
"Tentu saja! Selamat untuk diriku." Aku bertepuk tangan untuk diriku sendiri, membuat Sena memutar bola matanya. "Oh, ujian kenaikan tingkat ke kelas Senior tinggal seminggu lagi, ya? Menurutmu, lebih baik aku masuk jurusan apa, Sena?"
"Kau tidak bisa memilih jurusan. Hasil tesmu yang menentukan."
Aku menghentakkan kepalaku, jengah. "Kan seandainya, Sena. Ayolah, jangan serius begitu!"
"Aku mempelajarinya darimu," balas Sena dengan nada datarnya yang menjengkelkan.
"Huh? Sejak kapan aku serius?" Aku bertanya balik.
"Kau selalu serius. Selalu memakai logika yang tak bisa dicerna akal sehat."
"Tidak! Sama sekali tidak!" Aku menyilangkan kedua lenganku sehingga membentuk huruf X. "Aku bukan tipe orang yang selalu serius!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...