Fajar mulai menyingsing. Bulan telah bertukar posisi dengan matahari untuk menyinari dunia. Awan yang mulanya tampak samar, kini dapat kembali terlihat di mata. Langit jingga muda secara bertahap berganti warna menjadi biru. Udara pagi yang begitu sejuk dan menyegarkan menyapu kulit tangan yang tak terlindungi oleh busana, membuatku menggosok-ngosokkannya agar dapat―setidaknya―merasakan sedikit kehangatan.
Ini hari keduaku di masa lalu. Semalam, Lisa berbaik hati meminjamkanku kamar kosong yang ada di rumah ini. Lisa juga memberikanku makanan serta baju yang layak. Awalnya aku tak memyangka bahwa aku akan berada di sini lebih dari sehari. Kira-kira, apa kabar kondisi masa depan, ya? Padahal baru saja sehari di sini, aku sudah merindukan teman-temanku.
Lisa dan Maze―suaminya―kini sedang berada di bengkel pribadi milik mereka. Bengkel tersebut berada di ruang bawah tanah rumah mereka. Mereka berdua tengah mempercepat pembuatan permata penghancur. Entah mengapa, aku jadi sedikit merasa bersalah kepada mereka.
"Kak Kena," panggil sebuah suara dari belakangku.
Aku yang tengah duduk di perkarangan rumah mereka, menikmati pemandangan langit pagi pun menoleh. Kudapati sosok Lita di belakangku. Wajahnya masih sama pucatnya seperti pertama kali aku tiba di sini. Tak ada ekspresi pada air wajahnya. Sorot matanya seakan begitu hampa, tak ada cahaya hidup sama sekali. Sangat jauh berbeda seperti Lita yang kutemui di masa depan. Aku bahkan sampai ragu jika mereka adalah orang yang sama.
Sadar bahwa Lita menunggu tanggapan, aku pun tersenyum. "Ya? Ada apa, Lita?"
"Ibu memanggilmu," katanya dengan nada datar―dan tanpa sengaja aku justru teringat dengan Sena hahaha.
Aku beranjak dari kursi yang ada di perkarangan rumah Lisa. "Oke, terima kasih, Lita!"
Lita menatapku lamat, sebelum akhirnya mengangguk samar. "Sama-sama."
Aku berjalan hendak masuk ke dalam rumah. Namun aku mengurungkan niatku sementara. Kutolehkan kepalaku, menatap sosok Lita yang berdiri di perkarangan. Matanya menyorot sendu, tersirat kesedihan yang begitu mendalam di sana. Seakan, sudah lama sekali Lita tidak keluar dari rumah. "Kenapa tidak masuk?" tanyaku hati-hati.
Lita melirikku sekilas, lalu kembali menatap langit. "Aku ... nanti masuk."
"Tapi bukankah kamu sedang sakit? Lebih baik segera masuk dari pada bertambah parah."
"... Sebentar lagi." Lita terdiam sesaat. "Aku hanya ingin melihat langit sedikit lebih lama."
Aku mendekati Lita, menengadahkan kepala, ikut menatap langit. Gumpalan awan putih bersih terlihat menghiasi langit biru sebagai latar. Matahari bersinar cerah, begitu hangat di kulit. Angin yang berhembus menggelitik, membuat udara menjadi dingin meski sinar matahari hangat. Kupu-kupu serta burung berlalu lalang dengan bebasnya. Aroma tanah terasa begitu menyegarkan.
"Langitnya indah, ya?" kataku.
"Iya," balas Lita pelan, suaranya sedikit teredam oleh suara angin.
"Kenapa kamu ingin melihat langit? Bukankah kamu bisa melihatnya setiap hari?"
"Aku ... hanya takut." Sepertinya, itu kalimat yang selama ini dipendam oleh gadis itu. Terlihat dari sosot matanya yang tiba-tiba berubah. "Aku takut kalau tiba-tiba saja aku tidak bisa melihat langit lagi."
Aku mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Penyakit yang kuderita," Lita menjeda, "Aku takut, jika besok aku tidak akan terbangun lagi dari tidurku, atau penyakit yang menggerogoti umurku ini mengambil nyawaku. Jika itu terjadi, maka aku tidak akan bisa melihat langit lagi. Maka, setiap hari aku selalu menghabiskan waktuku menatap langit hingga aku puas. Dan bila sewaktu-waktu aku pergi, setidaknya aku masih bisa mengingat dengan jelas keindahan langit di dalam memoriku."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...