Path-28 : The Festival (1)

871 98 17
                                    

Akhirnya, hari dimana festival digelarpun telah tiba!

Seluk beluk sekolah dipenuh sesak oleh para murid. Hari pertama festival berlangsung meriah. Miss Wanda selaku kepala sekolah memotong pita dengan gunting sebagai petanda bahwa festival resmi digelar, dan tentu saja disambut meriah oleh para murid.

Tidak hanya para murid sekolahku saja yang antusias. Warga sedimensi sihirpun juga sangat menunggu festival ini. Konon, katanya festival sekolahku ini adalah festival paling bergengsi dan mengundang penasaran satu dimensi sihir. Pada hari kedua festival, orang luar diperbolehkan mengunjungi sekolah dengan syarat menunjukan tiket yang dititipkan oleh para murid. Para murid akan diberikan dua tiket oleh sekolah, dan tiket tersebut dapat diberikan kepada kerabat atau keluarga agar dapat memasuki festival.

Karena tak ada lagi keluargaku selain William―kepala pelayanku―dan sepertinya juga William akan sibuk sehingga tidak sempat datang. Kudengar, akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang terjadi. Mulai dari aliran hitam yang mulai memberontak dan membabibuta di sebuah desa sehingga melibatkan banyak korban jiwa, juga beberapa sekelompok pencuri yang merampok di beberapa toko. Aku sangat ingin membantu William menangani kasus-kasus yang terjadi, apalagi aku adalah calon ratu mereka. Namun William memohon padaku untuk memfokuskan diri belajar dan lulus dari sekolah terlebih dahulu.

William seakan selalu memendam semua masalah sendirian. Aku jadi merasa bersalah padanya.

Karena sadar akan hal itu, aku tidak akan memberitahu William tentang festival ini―apalagi memberikan tiketku padanya. Aku benar-benar tidak ingin merepotkannya. Aku tidak mau William hadir di sini hanya karena kasihan padaku.

Kasihan ... ya?

Aku menatap langit pagi yang masih sangat cerah. Jam yang melingkari pergelangan tanganku masih menunjukan pukul tujuh, sedangkan festival telah dimulai sejak pukul enam. Aku tidak mengerti mengapa festivalnya dimulai sepagi ini, padahal ini masih jam tidurku.

Tapi entah mengapa, para murid justru terlihat antusias. Jangan katakan hanya aku yang biasa saja?

Meskipun festival dimulai pagi, akan tetapi pertarungan justru baru dimulai pukul sepuluh dan berlangsung hingga sore.

Aku menatap anak-anak kelasku yang sedang sibuk ke sana-ke mari untuk mengantarkan makanan sembari berseluncur di atas es. Cafè skating yang kami buka lumayan mengundang banyak orang, bahkan katanya lebih ramai dari kelas sebelah yang membuka pertunjukan sihir. Meski tidak bisa jika dibandingkan kelas Yura yang membuka restoran mini, sih. Para murid bahkan rela mengantre dua jam demi mencicipi masakan lezat Yura.

Ah, aku juga mau!

Apa aku ke Kelas Yura saja, ya? Lagipula, aku tidak memiliki tugas apapun di sini kecuali duduk dan melihat.

"Eh, Kena, mau kemana?" tanya seorang gadis dengan nampan berisi mangkuk serta sendok kotor di tangannya. Dia tampak sedikit kesulitan mengatur keseimbangannya di atas es dengan sepatu seluncur. Aku cukup senang dengannya karena tidak memanggilku dengan sebutan "Ice". Meski sejujurnya, aku melupakan namanya.

Aku memang penghapal nama yang buruk. Aku jelas mengenali wajahnya, namun aku kesulitan dalam menghapal nama seseorang. Aku ini jahat sekali.

"Ke Kelas Yura," jawabku, "Aku bosan di sini."

"Hee? Enak sekali!" sahut gadis itu dengan bibir yang maju beberapa senti. "Aku harap shift-ku segera selesai. Aku tidak terbiasa dengan berseluncur seperti in―WHOA!"

Gadis itu tergelincir tepat sebelum menyelesaikan perkataannya. Dengan sigap, aku segera menahan tangannya agar dia tidak jadi terjatuh. Namun karena aku kurang kuat untuk menahannya, maka aku juga ikut tergelincir, dan berakhir kami berdua jatuh terjerembab di atas lantai es.

The Tales: Broken PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang