Path-38 : Snow White And The Forbidden Magic

700 88 47
                                    

Menu makan siang ini, tetap pastry daging. Padahal kupikir, akan ada tambahan pie apelnya. Ternyata tidak ada.

Ya, karena aku memang tidak membantu memasak, jadi aku tidak punya hak untuk memprotes. Maka, aku tetap makan tanpa banyak mengeluh. Lagipula, rasa makanannya sangat lezat.

Setelah ini, akan ada satu ujian lagi. Lalu kami akan diberikan waktu istirahat, dan pengumuman kelulusan akan diberi tahukan besok pagi.

Ujian kali ini hanyalah ujian tertulis. Tapi, ujian kali ini kami diminta membuat rune-rune yang telah kami hapal di sebuah perkamen tebal. Tentu saja, membuat rune itu sangatlah sulit. Seumur hidupku, aku baru menghapal sekitar tujuh sampai sepuluh rune sihir, dari sekitar dua ratus rune sihir yang ada. Bagaimana tidak, rune sihir begitu rumit dan sangat sulit untuk digambar. Jika ada satu saja tanda yang salah, maka runenyapun akan berbeda.

Kami diberikan waktu hingga petang untuk menggambar rune-rune yang kami ketahui, dan bagiku waktunya cukup. Aku selesai menggambar rune terakhir, tepat setelah bel menandakan waktu habis berbunyi.

Aku merenggangkan tangan, melangkah keluar sembari menghela napas lega. Aku menengok ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari wajah yang familiar di mataku. Aku bertemu beberapa wajah yang kukenal seperti Sora, Chaerin, Travis, dan lain-lain. Mereka juga sempat menyapaku dan bebasa-basi sebentar, sebelum akhirnya kembali pergi dan meninggalkanku.

Aku sendirian lagi. Huft.

Sena dimana ya? Aku tidak pernah melihatnya lagi selain kemarin.

Ah, sudahlah. Aku pasti bisa bertemu dengannya lagi, setidaknya sebelum pulang dari pulau ini. Atau paling lambat, aku bisa bertemu dengannya di sekolah esok hari.

Langit sudah senja, namun aku masih ingin di luar, tidak berminat kembali ke kamar penginapan.

"Datanglah."

Aku tersentak. Menoleh area hutan sebagai sumber suara. Keningku terlipat. Aku yakin mendengar sesuatu, tapi begitu samar. Apa aku salah dengar, ya?

Baru saja aku hendak melangkah menjauh, pandanganku menangkap sosok seorang lelaki yang begitu familiar. Cahaya oranye senja menerpa rambut merahnya hingga tampak menyala. Aku tak pernah salah mengenalinya, dia pasti Sena!

Sena berjalan memasuki hutan lebat, menyelinap di antara pepohonan hingga sosoknya tak lagi terlihat. Kakiku bergerak bahkan sebelum otakku memerintah. Seakan terhipnotis, aku berlari kecil mengikuti lelaki itu masuk ke dalam lebatnya hutan, mengabaikan fakta bahwa malam sebentar lagi akan tiba.

***

Ryan melangkah cepat mengejar gadis yang berjalan tak jauh di depannya. "Lizzy, tunggu!"

Sang pemilik nama hanya menoleh sekilas, melirik tanpa minat, lantas kembali berjalan.

"Kubilang tunggu!" Ryan mencekeram pergelangan tangan Lizzy. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan!"

"Lepas!" Lizzy menepis tangan Ryan, menatap murka. "Ada apa?! Jangan ganggu aku! Kamu sendiri yang bilang padaku bahwa aku harus menjauh!"

"Dengar, aku mau minta maaf," Ryan menjeda, menggigit bibir bagian bawahnya ragu, "Maaf, aku sudah merusak surat pemberian Ibumu. Aku tidak tahu bahwa--"

"Lalu?" Lizzy membalas dingin. "Yang sudah berlalu, biarkanlah berlalu. Sekarang, sudah selesai bicara, 'kan? Sudah ya, aku pergi dulu."

Ryan hanya bisa berdiri membeku. Menatap lamat-lamat sosok gadis bersurai ungu pudar yang sedang membawa sebuah apel merah di tangannya. Lelaki itu menghela napas.

Apakah sudah terlambat untuk dimaafkan?

***

Lizzy mendengus tak suka. Gadis itu membuka pintu kamar penginapan, lantas menguncinya kembali. Suasana kamar begitu sepi, itu karena hanya ada dirinya di kamar yang luas ini. Sepertinya yang lain belum kembali.

The Tales: Broken PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang