"Kena, kamu kembali!" Yura adalah orang pertama yang melompat ke arahku dan memelukku erat. "Aku sangat khawatir! Tapi, kenapa kamu bisa kembali begitu cepat? Apakah kamu sudah mendapatkan permata penghancur itu?"
"Cepat?" ulangku dengan sebelah alis terangkat.
Yura mengangguk. "Kamu hanya menghilang selama lima detik, lalu kembali lagi. Katakan padaku, apakah kamu berhasil kembali ke masa lalu?"
Lima detik, ya?
Benar-benar di luar dugaan.
Aku menghabiskan waktu dua hariku di masa lalu, namun hanya lima detik yang berlalu di masa sekarang. Apakah ini semacam perbedaan waktu?
"Kena?"
"A-Ah, iya. Aku mendapatkan permata penghancurnya." Aku menunjukkan sebuah permata di genggamanku dengan senyum lebar. "Akhirnya kita bisa menyelamatkan Sena dan Lizzy, hehe."
Yura terdiam. Gadis itu menatapku lekat-lekat dengan pandangan yang sama sekali tak bisa kuartikan. "Kena ... apakah kamu habis menangis?"
"Eh?" Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Aku mengarahkan pandanganku ke sekitar, teman-temanku termasuk Lita memandangiku dengan raut cemas.
"Kena, apakah ada sesuatu yang terjadi di masa lalu?" Hanya Yura yang berani menanyakan hal tersebut. Sejak dulu, sejak kami masih kecil pun, hanya Yura seorang yang mampu menghiburku di kala aku sedih. Yura teman pertamaku, mau di dimensi manusia ataupun dimensi sihir. Dia yang paling mengerti aku.
"Aku ...." Telapak tanganku menggepal erat. Aku menggigit bibir bagian bawahku, menundukkan kepala guna menyembunyikan raut wajahku saat ini. Meski ada perasaan di dadaku yang terasa campur aduk, namun bibirku tetap mengulas sebuah senyum sendu. "Aku bertemu dengan Ibu di sana."
Satu kalimat yang terlontar dari mulutku mampu menghentakkan semua orang yang berada di ruangan ini. Yura maju beberapa langkah mendekatiku. Kedua matanya berkaca-kaca. "Kamu bertemu Bibi Annatasha di sana?"
"Iya." Aku tersenyum lebar. "Aku sangat senang bisa bertemu dengannya lagi. Rasanya benar-benar seperti mimpi."
"Kena ...," Yura menghela napas pelan, lalu tersenyum hangat kepadaku. Dia menggenggam kedua tanganku. "Aku bersyukur kamu dapat melihatnya lagi."
"Syukurlah." Flo kini membuka suara. Gadis itu melangkah mendekat. "Aku ikut senang mendengarnya, Kena."
"Yah," Aku mendongak, menatap langit-langit ruangan yang terbuat dari kayu. "Akhirnya tidak ada lagi penyesalan yang tersisa." Aku mengalihkan pandanganku kepada yang lain. "Ayo kita kembali! Aku tidak sabar membangunkan Sena dan Lizzy!"
Kami berbincang beberapa saat kepada Lita, mengucap terima kasih yang sebesar-besarnya. Lita mengantar kami hingga depan rumahnya. Ia memberikan buku berisi resep ramuan yang dapat menetralisir racun apapun kepada kami. Sebelum kami pergi dari rumah Lita, wanita itu menahanku. "Ah, hampir saja aku lupa. Ada barang yang harus aku kembalikan padamu, Kena."
Aku memiringkan kecil kepalaku. "Barang apa?"
Lita mengeluarkan sebuah permata berwarna biru dari dalam pocket-nya, lalu menyerahkannya padaku. "Ini, jimat yang kau pinjamkan sebagai jaminan aku hidup meski aku berpenyakitan. Terima kasih, ya. Kini, sudah saatnya aku mengembalikan jimat ini kepadamu."
Aku menerima jimat tersebut, menatap benda itu lekat-lekat. Aku tersenyum cerah. "Sama-sama. Jimat ini, akan menjadi jimat keberuntunganku."
"Semoga dewi Fortuna memberkatimu, Tuan Putri." Lita menunduk pelan.
"Terima kasih!"
***
Kami kembali ke sekolah, lebih tepatnya laboratorium untuk meracik ramuan. Tepat setelah permata menyentuh sampul buku, buku tersebut mengeluarkan sinar yang sangat terang sebelum akhirnya terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...