Romeo tengah sibuk memilah data murid untuk ujian lapangan individu kelas Amature. Sebenarnya, bisa saja Romeo tak perlu serepot ini, dan menentukan lawan setiap murid lewat undian. Namun karena sifat Romeo yang terlalu rajin, jadi dia memutuskan untuk menentukannya lewat nilai dan intel. Jadilah dia begadang semalaman sampai pagi.
Vere―pixieball miliknya―datang membawakan secangkir kopi panas. Ini sudah cangkir kelimanya sejak Romeo mulai begadang."Romeo, sebaiknya kau tidur saja," ujar Vere sembari meletakan cangkir kopi itu di meja.
"Hm. Sebentar lagi," Romeo meraih cangkir kopi, lalu meneguk sedikit isinya sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya.
Pixieball itu mendengus sebal, "Kamu ini seperti robot saja."
"Kalau ada robot yang bisa mengerjakan tugas ini, sudah kubuat dari dulu."
"Heh, aku akan menemui Vian."
"Buat apa?" tanya Romeo tanpa menghentikan kegiatannya.
"Akan kuminta Juliet kemari untuk memaksamu tidur."
Aktivitas Romeo terhenti. Lelaki itu memicingkan matanya, menatap sinis. "Kalau aku tidur, ini tidak akan selesai. Pagi ini murid kelas Amature ada ujian individu."
"Pakai undian saja!" sayap kecil Vere mengepak pelan, menghasilkan serbuk bercahaya tipis. "Jangan terlalu rajin! Kau kan punya kekuatan yang berhubungan dengan mesin, jadi gunakan dengan benar! Buat robot atau semacamnya."
"Akan kupertimbangkan," ujar Romeo.
Meski Vere sudah memaksa berkali-kali, pada akhirnya Romeo tetap melanjutkan pekerjaannya. Dia berhasil menyelesaikannya tepat dua jam sebelum ujian dimulai. Karena pekerjaan sudah selesai, kini saatnya dia untuk beristirahat. Romeo punya waktu luang hingga siang. Jadi, dia bisa tidur dengan tenang.
"Vere, bangunkan aku jam satu siang, ya," pesan Romeo seraya rebahan di atas ranjang empuknya.
"Huh, kau ini seperti kelelawar saja. Pagi tidur, malam bekerja." Meski mencibir tak senang, Vere tetap mengiyakan ucapan Romeo. Pixieball itu terbang ke luar, berniat bermain bersama yang lainnya saja dari pada menemani majikannya di dalam kamar.
Rasanya, baru saja Romeo memejamkan mata dan menghela napas lega, suara ketuk pintu mengusik pendengarannya. "Vere, siapa itu?"
Tak ada jawaban. Hanya ada suara ketukan pintu yang terus terdengar tanpa henti. Romeo mengerang kesal. Lelaki itu beranjak berdiri, lalu membuka pintu dengan malas. Siapa pula yang berani mengganggu ketenangannya? Apakah dia tidak tahu kalau saat ini mata Romeo bahkan tidak sampai lima watt?
"Ah, Romeo. Maaf mengganggu."
Kening Romeo mengerut heran. "Miss Wanda? Ada apa sampai repot-repot kemari?"
Wanda tersenyum simpul. Dia menatap Romeo dari ujung rambut hingga ujung kaki. Penampilan Romeo begitu kusut dan acak-acakan. Ada kantung hitam tebal di bawah kelopak matanya. Sebenarnya dia tak tega untuk mengganggu Romeo, tapi mau bagaimana lagi? Saat ini dia sangat membutuhkan kehadiran si ketua Dewan. "Aku membutuhkanmu untuk ikut denganku."
"Huh? Kemana?"
"Nanti akan kuberi tahu," Wanda tetap tersenyum, menyorot ramah. "Sekarang, bersiaplah. Kutunggu kau di gerbang segera."
Wanda pergi setelah Romeo mengonfirmasi bahwa dia akan hadir. Lelaki itu menghela napas gusar. Dia mengambil handuk, lalu mandi secepat kilat. Romeo hanya memakai setelan kemeja, dan dibalut dengan jubah hitam semata kaki. Ini pakaian yang biasa dipakai penyihir saat bepergian. Beberapa memang lebih sering memakai armor besi di balik jubahnya. Tapi menurut Romeo itu tidak perlu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...