Akhirnya hari yang ditunggupun tiba.
Hari ini, hari dimana ujian kenaikan tingkat dilaksanakan.
Aku menatap pantulan bayanganku di cermin, membetulkan setiap inchi penampilanku. Kurekatkan jubah merah di kancing bahu, lalu kutatap kembali cermin.
Senyumku merekah.
Tanganku menggepal, "Semangat," kataku pada diri sendiri.
Aku meraih sapu terbang dari dalam pocket. Aku melangkah mendekati jendela besar yang terpapar di samping ranjang tidurku, lalu membukanya. Membiarkan udara dingin pagi menggelitik kulitku. Tanpa berpikir dua kali, aku segera melompat keluar melalui jendela.
Untuk catatan, aku tinggal di lantai 2. Silahkan bayangkan setinggi apa aku melompat.
Dengan cepat, aku segera mendudukan diriku di atas gagang sapu terbang, lalu mengucap sebaris mantra. Tubuhku yang tadinya jatuh bebas, kini mulai terpapah oleh sapu terbang. Aku mulai melayang, menelusuri besarnya bangunan sekolah.
Hanya pada waktu-waktu tertentu, para murid boleh menggunakan sapu terbang mereka di area sekolah. Seperti sekarang ini contohnya.
Sapu terbang membawa sosokku melayang di langit, membiarkan angin menerpa lembut kulitku. Pagi ini sejuk sekali. Aku suka suasananya. Apalagi saat ribuan mahkota bunga terbang terbawa angin, membuat pemandangan menjadi indah.
Kuhentikan aktifitas menerbangku, demi melihat mahkota bunga luciem yang tampak bersinar seperti kunang-kunang. Aku mengulurkan tanganku, hendak menggapai bunga itu. Detik setelah kulit tanganku menyentuh ujung mahkotanya, bunga itu langsung belebur menjadi serpihan debu bercahaya. Indah sekali.
"Sedang apa kau di sini?"
Aku menoleh, dan mendapati sosok Sena juga tengah terbang dengan sapu terbangnya di sampingku. Kusunggingkan senyum manisku, menatap lelaki berwajah datar itu dengan tatapan bersahabat. "Tadi ada bunga luciem."
Sena menatapku, "Jenis mana?"
"Sepertinya jenis golden dust," Aku berpikir sejenak, "Beruntung sekali aku! Tadi itu keren sekali, tahu. Andai kau melihatnya juga."
Sena mengangguk, "Iya."
"Mau berangkat bersama?" tawarku setelah sadar bahwa Sena akan terus diam jika aku tak kunjung memberikan topik.
Lelaki itu mengangguk. Setelah itu kami terbang bersama, menelusuri langit dimensi sihir yang begitu indah. Kami terbang beriringan tanpa mengucap sepatah katapun. Sebenarnya aku sudah berusaha mencari topik pembicaraan untuk mencairkan suasana. Namun sayangnya aku tak berhasil menemukan topik yang cocok. Jadi aku memutuskan untuk diam saja selama sisa perjalanan. Hingga akhirnya kami sampai di lapangan luas belakang sekolah. Disinilah kami--para penyihir--berkumpul untuk ujian kenaikan tingkat Amature. Aku dan Sena mendarat di tempat yang sedikit jauh dari keramaian.
Bising terdengar dimana-mana, memenuhi indra pendengaranku. Ramai sekali. Tapi setidaknya jika dibandingkan saat aku kenaikan tingkat kelas basic, jumlah siswa saat itu lebih banyak daripada sekarang. Mungkin saat ini ada sekitar dua ratus siswa saja? Itu hanya perkiraanku. Jangan tanya bagaimana aku menebaknya, karena dulu saat masih tinggal di dimensi manusia aku sering membaca buku misteri yang mengajarkan bagaimana caranya menganalisis dengan cepat dan tepat.
"Kena!" Aku menoleh ke sumber suara. Mataku menangkap sosok Lizzy tengah terbang dengan sapunya mendekatiku. "Ah, ada Sena juga. Selamat pagi, Kena Sena!" Gadis itu mendarat, lalu segera memasukan sapu terbangnya ke dalam pocket.
"Pagi juga," balasku. Aku menyikut rusuk Sena karena lelaki itu tak membalas salam Lizzy. Aku melotot saat Sena tak menyadari maksudku. Bagaimanapun sebagai sopan santun, seharusnya Sena juga balas menyapa. "Ucapkan salam!" bisikku sedikit sengit.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...