Path-25 : Justice Of Pain

866 112 41
                                    

TUK! TUK! TUK!

Jemari lentik itu tak kunjung henti mengetuk meja. Iramanya tetap konsisten meskipun pikiran si pengetuk sedang melayang ke mana-mana. Tatapannya begitu datar. Dia membaca sekilas kertas di hadapannya, lalu menghela napas pelan. Otaknya buntu. Dia tak tahu apa lagi yang harus dilakukan.

Suara berdenyit pintu terbuka terdengar di telinganya, membuat ketukan jemarinya terhenti. Ia menoleh, menatap sosok yang membuka pintu ruangannya.

"Wanda, aku membawa dokumen yang kau minta." Rosseline menarik kursi lalu duduk di hadapan Wanda. Dia meletakan setumpuk kertas yang merupakan dokumen-dokumen penting. "Beberapa ada yang rusak, akan tetapi masih bisa terbaca tulisannya."

Wanda meraih secarik kertas yang sudah berkerut dan lecak. Seakan, kertas tersebut telah dihantamkan berkali-kali oleh angin puting beliung. Tatapannya terkunci pada cairan merah yang telah menghitam di sudut kertas. Keningnya berkerut. "Apakah sempat ada pertarungan di Ruang dewan?"

Rosseline meringis pelan. Wanda benar-benar peka. "Sepertinya begitu."

Sekali lagi, Wanda menghela napas. Dia kembali meletakan dokumen ke meja. "Aku tidak menemukan titik terang," ucapnya dengan suara berat.

"Maksudmu?"

"Aku sudah menyelidiki semua kepala pelayan. Tapi, mereka semua memiliki alibi yang kuat." Wanda menjentikkan jarinya. Detik selanjutnya muncul sebuah layar transparan dari atas meja. Deretan huruf terpapar dengan jelas di sana. "Ada tiga kepala pelayan yang dicurigai. Pertama, kepala pelayan dari kerajaan Barat Laut, Grusa. Namun, dia tidak memiliki alasan untuk dicurigai. Kekuatannya hanya sebatas memperbesar dan memperkecil sesuatu. Dia juga merupakan wanita terpelajar. Tidak ada alasan bagi kita untuk menuduhnya."

"Mengapa kau begitu yakin?" tanya Rosseline.

"Karena aku telah mengujinya," jawab Wanda, "Dia sama sekali tidak memiliki kekuatan hitam."

"Lalu, bagaimana dengan Olde?"

"Olde ... ya?" Raut wajah Wanda berubah masam. "Dia menjadi tersangka kedua yang kita curigai. Meski dia menyebalkan dan begitu sarkas, tapi aku dapat merasakan energi positif dari dirinya. Dia tidak pernah bermaksud buruk. Aku juga telah mengujinya."

Rosseline mendesah putus asa. "Dan jangan bilang padaku bahwa tersangka nomor tiga juga tidak bersalah?"

"Itu yang hendak aku sampaikan." Wanda memijat keningnya. "Tersangka nomor tiga yaitu Henry, kepala pelayan kerajaan Timur. Dia juga berhasil lulus tes dariku dengan baik. Aku sama sekali tidak bisa mencurigainya ...," ucapan Wanda terhenti, "Kecuali satu hal," lanjutnya.

"Apa?"

"Dia tidak memiliki latar belakang yang jelas. Aneh. Mengapa raja Raven mau menerima kepala pelayan yang latar belakangnya tidak jelas seperti itu?"

"Bisa saja ratu Lizne yang menerimanya. Kau tahu? Kebijakan setiap kerajaan itu berbeda."

"Hm. Bisa jadi."

Krek!

Baik Wanda maupun Rosseline menoleh serempak. Tatapan mereka terkunci pada pintu ruangan yang terbuka sendiri. Rosseline refleks berdiri. Seingatnya, dia telah menutup pintu saat masuk. "Siapa itu?!"

Tidak ada jawaban. Hanya ada suara hentakan kaki orang berlari.

Wanda melangkah mendekati pintu. Ia mencondongkan kepalanya ke luar, menoleh ke kanan dan ke kiri. Tatapannya terkunci pada seorang lelaki yang sedang berjalan tenang melewatinya.

Lelaki itu menunduk hormat begitu melihat Wanda. "Selamat pagi, Miss."

"Pagi," balas Wanda, "Hei, apakah kau melihat ada seseorang di sini?"

The Tales: Broken PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang