Suara berirama ketuk langkah kaki terdengar bergema di antara lorong panjang. Mataku melirik-lirik cemas ke arah pintu putih yang tetap engan terbuka meski sudah sejam lamanya aku berdiri menunggu. Aku menggigit bibir bawahku. Cemas. Khawatir. Sedih. Semua perasaan itu menghantuiku. Sejak menerima kabar dari Hanz sejam yang lalu, perasaanku jadi tak tenang. Tanpa berpikir dua kalipun, aku sudah melesat pergi. Meninggalkan tumpukan buku yang belum selesai kubaca. Mengabaikan fakta bahwa aku sedang mempelajari materi untuk ujian kenaikan tingkat. Tahu-tahu aku sudah berada di sini--di depan pintu ruang kesehatan yang sama sekali tak mengizinkan aku masuk meski sekedar mengintip ke dalam. Alice ada di dalam, dengan kondisi yang tak kuketahui sama sekali. Kuharap Alice baik-baik saja.
"Kena, tenanglah."
Aku menatap Keichi yang tengah duduk di kursi samping pintu ruang kesehatan. Dia adalah patner Alice. Aku menatapnya sinis. Bagaimana dia bisa setenang itu padahal patnernya sedang dalam masalah serius?!
Seakan membaca pikiranku, dia berseru tak terima, "Hei, aku juga khawatir! Aku patnernya, maka akulah yang paling cemas di sini."
Kesal, aku membuang pandangan ke lain arah. Sejam lamanya sejak aku tiba di sini, dan aku masih tidak diperbolehkan masuk. Tadi ada Yura, Lizzy, dan beberapa orang lagi. Tetapi mereka menyerah karena tetap tidak diperbolehkan masuk. Pada akhirnya, mereka memilih untuk menunggu kabar saja dari pihak badan kesehatan.
Mungkin aku ini termasuk keras kepala. Aku tetap kukuh menunggu di depan pintu. Siapa tahu mereka yang di dalam merasa kasihan padaku dan membiarkanku masuk. Tidak ada yang tahu, kan?
"Tidak."
Aku menoleh, menatap pintu ruang kesehatan yang sedikit terbuka, menampakan seorang murid sedang mengintip ke luar--menatapku. Bergegas aku menghampirinya. "Aku boleh masuk?"
"Kan sudah kubilang tidak boleh." Gadis itu menatapku sedikit sebal. "Ice, aku tahu kau khawatir. Tapi saat ini kau masih belum boleh masuk--semua orang kecuali badan kesehatan belum boleh menjenguk."
Keningku berkerut begitu gadis di balik pintu itu memanggilku dengan sebutan ice. Banyak dari mereka yang melupakan namaku dan memanggilku begitu. "Namaku Kena. Panggil saja begitu."
"Aku sering lupa namamu, jadi biarkan aku memanggilmu ice, berhubung rambutmu berwarna biru dan memudahkanku mengingatnya."
"Ya, ya. Terserah." Aku mengalah, mendengus kasar. "Tolong biarkan aku masuk."
"Belajarlah dari si rambut landak itu. Dia menunggu sangat tenang."
Aku menoleh. Keichi menoleh. Pandangan kami saling beradu. Kentara sekali dari wajah Keichi bahwa lelaki itu tidak terima dipanggil "si rambut landak."
"Aku tidak tahu harus senang atau kesal," Keichi bersungut-sungut pelan.
Menyebalkan. Tak bisakah mereka membiarkan aku masuk sebentar saja? "Aku tidak peduli! Biarkan aku masuk!"
"Sudah kubilang tidak boleh--Hei! Jangan dobrak pintunya!"
"Masa bodoh! Panggil Clyde! Aku ingin bicara padanya!!"
"Oke!" Gadis itu tampak pasrah. Ia berseru sengit sebelum akhirnya membanting pintu. "Akan kupanggil Clyde! Nanti, tunggu saja sejam lagi!"
Aku hendak memprotes, tapi pintu sudah tertutup lebih dulu. Ingin rasanya aku mengetuk-ngetuk pintu, mendobraknya paksa. Tetapi aku belum cukup gila untuk mendobrak pintu yang terbuat dari bijih besi white iron yang konon kerasnya melebihi besi manapun di dimensi sihir. Berteriak pun percuma, karena mereka pasti mengaktifkan sihir kedap suara.
Maka yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menghela napas putus asa.
"Sudah kubilang duduk manis dan menunggu saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: Broken Pandora
Fantasy[The Tales: School of Magic Sequel] Setelah tragedi yang menyebabkan populasi penyihir menurun, kini kami dikejutkan kembali oleh bencana yang baru. Sebagian besar penyihir terkena sihir hitam, dan membuat kekuatan mereka tersegel. Kehilangan kekuat...