7• Candala

269 37 6
                                    

candala /can·da·la / 1 a rendah; hina; nista; 2 v merasa rendah diri.
-KBBI-

Pagi ini langit mendung dengan awan abu menggantung pilu.

Dini hari tadi sepulang kerja aku mengobrol cukup lama dengan ibu dan kakak melalui ponsel. Kami bercerita banyak hal. Ibu selalu bisa membuat suasana menjadi ceria. Meskipun pada mulanya aku ingin menangis namun akhirnya aku menutup telepon dengan senyuman. Bagiku ibu seperti matahari. Cerah, hangat, hebat, dan hanya ada satu di seluruh jagat raya.

Sesampainya di sekolah aku segera menaruh tasku di bangku dan berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Jenar bilang dia berangkat lebih pagi untuk mempersiapkan diri pada kompetisi pencak silat di Universitas Brawijaya minggu depan. Sudah sejak dua minggu lalu kami tidak berangkat bersama. Biasanya gadis itu akan berlatih di lapangan belakang. Jadi aku memutuskan untuk pergi ke sana.

Cuaca yang mendung sangat mendukung untuk kegiatan jalan-jalan seperti ini. Sesampainya di sana dapat kulihat Jenar dengan seragam silat kebanggaannya itu berlari mengelilingi lapangan. Ditanganku sudah ada dua kotak jus jeruk. Aku memasukkan satu diantaranya ke dalam tas Jenar yang ada di pinggir lapangan.

"Jenar, semangat!" Seruku keras.

Gadis itu mengacungkan dua jempolnya kearahku. Kemudian aku memilih untuk meninggalkan tempat itu. Begitu melewati koridor panjang menuju kelas aku berpapasan dengan Rean.

"Hei Scarlet." Sapanya yang entah kenapa terdengar kaku di telingaku. "Sendirian aja mana Jenar?"

"Itu, lagi latihan silat." Jawabku apa adanya.

Lelaki itu mengernyit sambil menatap jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Pagi-pagi gini? Wah gila juga latihannya. Dari nasihatnya ke gue kemarin, gue kira tuh anak sering bolos latihan."

"Kurang lebih sama rajinnya kayak kamu sebenarnya." Tambahku. "Nih, vitamin c bagus buat tubuh biar gak kecapekan." Sekotak jus jeruk yang kupegang kuberikan kepada Rean.

"Hm? Makasih." Katanya sambil tersenyum lembut. Kemudian raut wajahnya berganti menjadi menyesal, dengan cepat. "Soal kemarin, maaf kalau kesannya ikut campur masalah pribadi lo. Gue sama sekali gak bermaksud gitu."

Aku mengangguk, "Maafin aku juga karena terlalu emosional jadi gak bisa nangkap maksud kamu yang sebenarnya."

"Okey. Jadi impas dong?"

"Iya deh. Julius mana?"

"Udah di kelas. Mau gue panggilin?"

"Nggak, gak usah cuma nanya doang. Oh ya, kaki kamu gak papa?"

Cara berjalan lelaki itu masih sama seperti kemarin saat ia keluar dari minimarket. Pincang. Aku penasaran apakah itu cidera atau karena hal lain. Karena melihat orang berjalan seperti itu rasanya menyakitkan.

"Oh ini kram gara-gara kurang pemanasan sih kayaknya. Bentar lagi juga balik. Yang kayak gini udah biasa."

Memangnya kram bisa bertahan selama seharian? Bukannya biasanya tidak sampai berjam-jam? Lagipula untuk ukuran atlet sekelasnya, rasanya tidak mungkin melakukan suatu hal yang terbilang ceroboh seperti itu.

"Yaudah gue balik dulu! Once again, thank you!" Katanya sambil berlalu dan mengangkat sekotak jus yang kuberikan.

Anggrean Adi Samudra.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang