13• Manusia dan apa yang dibawanya

196 30 2
                                    

Hari Senin yang memuakkan entah kenapa terus berulang.

Pada jam istirahat makan siang seperti saat ini, kantin selalu jadi tempat paling padat di sekolah. Meski begitu, aku harus tetap bertahan mengantri makanan. Karena sebentar lagi matematika, pelajaran yang paling kubenci akan menguras seluruh tenagaku. Jadi aku harus makan sebanyak mungkin sebelum meledakkan otak yang sangat payah dalam hal logika, ini.

Namun antrian padat manusia berseragam di kantin, membuatku berpikir ulang. Aku sangat benci berada dalam kerumunan. Bagiku sangat tidak nyaman, mendapati tubuhmu bergesekan dengan banyak orang yang kadang tidak kau tahu siapa mereka. Aku sudah tidak tahan lagi, kutarik tangan Jenar keluar kerumunan.

"Ngapain?" Tanyanya dengan raut wajah polos.

"Nanti aja deh. Sesak aku ngantri, gak bisa napas."

Aku bersandar pada dinding di sebelah kantin seraya menghirup oksigen banyak-banyak. Seragamku sudah basah, terutama di bagian ketiak. Hal yang sama terjadi pula pada dahiku.

"Kalau nanti-nanti yang ada malah makanannya abis, terus laper sampe sore. Biar aku yang beli, tunggu sambil cari tempat duduk. Siomay lima ribu sama es campur kan?"

"Sama banana bread dua."

Jenar memutar bola matanya jengah, "itu doang?"

Aku mengangguk. Kemudian Jenar menghilang, tak terlihat lagi karena sudah masuk ke dalam kerumunan. Akupun memutuskan untuk mencari tempat duduk yang hampir semuanya sudah penuh. Cobaan apa lagi ini, batinku. Kenapa untuk makan saja sulit.

"Scarlet!"

Aku menoleh mencari sumber suara yang berani mengganggu monologku.

"Sini!" Seru Rean sambil melambaikan tangannya padaku.

Lelaki itu duduk dengan Julius seraya menyantap makan siangnya. Masih sisa dua kursi di samping mereka, lalu akupun memutuskan untuk duduk di sana sambil menunggu Jenar.

"Gitu dong. Daripada bengong mending kan duduk gini," kata Rean. "gak makan?"

"Makan, lagi nungguin Jenar beli."

"Pasti lagi cari tempat duduk kan tadi?" Tanyanya.

"Iya."

Rean mengangguk dan meneruskan makan siangnya. Lelaki itu makan banyak dan lahap.

Julius mengernyitkan dahinya. "Mau dianya di suruh-suruh gitu?"

"Dia yang minta malahan."

"Seriusan?" Tanyanya lagi. "Baik banget."

Kulihat Jenar mengedarkan pandangannya setelah keluar dari kerumunan. Aku melambai pada gadis itu seperti cara yang digunakan Rean untuk memanggilku tadi. Jenar melihatku dan berjalan ke arah kami duduk.

"Tuh orangnya." Kataku pada Julius.

"Lo lagi, lo lagi." Keluh Jenar begitu meletakkan nampan yang dibawanya di meja.

Dengan mulut penuh makanan, Rean menjawab. "Gue? Gue lagi? Kapan gue ketemu lo?"

"Bukan lo," Jenar menunjuk Julius. "Lo!"

Rean mengangguk fasih dan membulatkan mulutnya. "Oh, bukan gue. Gue kira gue."

"Narsistik!" Seru Jenar.

"Dih, apa salahnya? Gue kan cuma nanya."

Aku tertawa kala melihat beberapa butir nasi keluar dari mulut Rean sembari ia bicara dan jatuh tepat ke tangan Julius.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang