33• Ia jatuh juga

213 29 4
                                    

Aku berjalan melalui koridor dengan lesu. Sesekali berpegang pada bahu Julius agar bisa sampai di kelas lebih cepat meskipun faktanya itu sama sekali tidak membuatku merasa lebih baik. Julius pun tidak menolak seperti biasanya, karena ia tahu aku sedang tidak cukup baik untuk menjadi rekan debatnya hari ini. Tubuhku lemas setelah mengerahkan seluruh tenagaku untuk menghadapi rasa sakit yang singgah semalam. Akibatnya aku hanya tidur kurang dari tiga jam. Belakangan memang waktu tidur sering tersita karena hal itu.

"Kenapa lo diem bae hari ini?" tanya Bobi dengan wajah penasaran yang membuatku ingin menonyornya ketika kami sedang makan di kantin.

Kujawab jujur, tak berniat basa-basi. "Lemes gue."

"Tampang lo pucet sih, ya kali lo sakit."

Julius menyahut dengan aksen medoknya sebelum aku sempat menjawab, "gering cae." (Dia sakit).

"Pecicilan mulu sih lo!" seru Bobi sembari melahap santapannya.

"Ya elah kapan gue bener di mata lo."

"Minta bener mulu kayak cewek."

Julius menyenggol lenganku. "Si Bobi emang pernah sama cewek?"

"Tahu, halu doang dia." jawabku.

"Anjing emang lo pada. Lagian, Re. Lo kan juga jomblo seumur hidup."

Aku menggeleng, "ngapain nyeret-nyeret gue dalam drama kejombloan lo," kalimatku belum usai saat aku merasakan tepukan bahuku. Saat aku menoleh kudapati Dion mengambil duduk di sebelahku.

"Eh bro, kemarin gue dibilangin Pak Han, katanya ada kompetisi renang di Walikota Cups kalau lo mau. Soal akomodasi lo bebas, tinggal berangkat dah pokoknya," Dino langsung mengatakan hal-hal terkait renang padaku. "udah ditanggung Pak Han semua. Lo tinggal masuk aja deh. Gila baik banget tu pak tua. Kenapa gak balik aja sih, lo tu anak emasnya."

Aku tertawa.

"Leon ikut, bro. Jadi lo gimana. Hadiahnya masih lumayan banget."

Aku ingin menolaknya cepat-cepat. Ditinjau dari sisi manapun sangat tidak memungkinkan untukku mengikuti kompetisi atau apapun yang melibatkan kondisi fisik. Tapi akhirnya aku hanya bilang akan menghubunginya nanti.

Seusai makan siang kuputuskan pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan buku dan meminjam yang lain lagi.

"Otobiografi satunya udah dipinjam emang, Bu?" tanyaku pada penjaga perpustakaan itu.

Belakangan aku semakin sering ke tempat ini. Duduk sembari membaca keheningan yang menyergap diantara rak-rak buku. Acap kali aku berjumpa dengan Scarlet. Tapi sepertinya hari ini aku cukup sial.

Bu Siti memeriksa daftar buku pinjaman di mejanya. "Oh yang Soeharto, sebentar." Wanita itu bersuara lagi setelah menemukan apa yang dicarinya. "Iya, ini dipinjam Scarlet."

"Scarlet? Kembalinya kapan, Bu?"

"Lusa, mau kamu buat apa to, le? Kok mesti kesusu." (buru-buru).

"Ya dibacalah, Bu." Jawabku.

"Berati kamu kudu sabar nunggu."

"Balik, yuk." Gadis yang sedari tadi mengekoriku itu melingkarkan lengannya ke tanganku, tapi segera kutepis. "Jangan gitu," tegurku padanya. "Ya udah, Bu. Besok saya ke sini lagi."

Aku segera beranjak keluar, berusaha berjalan secepat yang kubisa untuk menghindari Lea. Tapi kakiku malah jadi semakin nyeri dan Lea tetap ada di sisiku. Sia-sia. Kuputuskan menghentikan langkah ketika dia akhirnya mengajukan pertanyaan.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang