14• Heningmu

194 27 15
                                        

So if you are too tired to speak, sit next to me,
because i too fluent in silence.
-R. Arnold

[]

Udara hangat khas wilayah tropis menyelemuti sejak aku bangun tidur tadi pagi.

Tapi rasa malas langsung menguasaiku. Sinar matahari membakar habis seluruh semangatku untuk berangkat sekolah. Hari ini adalah jadwal untuk kelas olahraga, pelajaran kedua yang paling aku benci setelah matematika. Aku tidak suka berkeringat dan lelah. Jadi aku benci aktivitas fisik. Selain itu tubuhku juga sangat payah dalam hal olahraga. Satu-satunya jenis olahraga yang kukuasai adalah, tidak ada.

Tapi di sinilah aku akhirnya, lintasan lari sekolah dengan kaos olahraga. Sedangkan Jenar, ia malah menggunakan kaos polo biru laut bertuliskan school is outdated di bagian depan sebelah kanan dengan warna putih bercetak tebal dan digaris bawah. Tentu saja apa yang dipakainya itu mengundang masalah. Sesampainya di gerbang, beberapa anak osis yang berjaga mencegat Jenar dan menanyainya beberapa hal. Seperti kenapa ia memakai kaos itu, bukannya seragam kaos olahraga seperti yang lain.

"Ngapain sih tanya-tanya? Kalau mau catat, catat aja udah! Pada tau gue kan? Kalau gak tau catat nih, Jenar kelas sebelas sosial satu. Bilangin tuh ke pemimpin lo pada!"

Jenar kemudian menerobos masuk ke dalam area sekolah diiringi tatapan kesal para osis. Aku tertawa, ternyata manusia-manusia menyebalkan semacam mereka juga tak bisa berkutik ketika dihadapkan dengan Jenar.

"Nanti kalo dipanggil BK gimana?" Tanyaku sambil mengikuti langkahnya.

"Datang aja, jangan sombong."

Ajaibnya tak ada yang terjadi pada Jenar, setidaknya sampai saat ini. Ia masih asik melakukan pemanasan di lintasan lari bersama beberapa teman sekelas yang juga penggila olahraga. Beruntungnya aku, sekelas dengan para pecinta aktivitas fisik ini. Setidaknya aku pernah pada suatu waktu merasa olahraga itu menyenangkan, berkat mereka. Tapi keajaiban itu hanya terjadi sesekali.

"Emang boleh ya pakai kaos selain yang dari sekolah?" Tanya Juli, teman sekelasku padaku.

"Gak boleh lah, kayak gak tau sekolah ini aja." Jawab Najwa yang tiba-tiba sudah ada di sampingku.

"Kok Jenar pakek kaos polo." Juli mengarahkan pandangannya pada Jenar seolah melayangkan protes. "Diizinkan sama para osis yang terhormat?"

Aku tersenyum. "Kayak gak tau Jenar aja."

Aku memang pendiam, teman-temanku sudah tahu itu sejak awal. Bahkan mereka selalu bersikap baik padaku dan membicarakan banyak hal, meskipun aku hanya menanggapi dengan senyum. Berkat film tentang bullying yang kutonton beberapa kali sebelum masuk SMA aku sempat takut akan terisolir karena sifatku yang satu ini. Tapi ternyata kenyataan yang kujalani jauh lebih baik dari tokoh utama film itu. Juli dan Najwa adalah yang paling dekat denganku di kelas, setelah Jenar.

"Masa iya kemarin ban motor gue dikempesin cuma gara-gara parkir gue sumpelin. Terus gue harus parkir dimana coba? Lahannya udah ga ada lagi. Kesel banget gue."

"Terus gimana pulangnya?" Tanyaku.

"Tetep gue naikin sampe ke bengkel situ." Najwa menunjuk bengkel di depan sekolah dengan dagunya.

"Dasar emang manusia-manusia iseng berkedok osis yang suka lihat orang sengsara!" Seru Juli.

Sesaat kemudian Pak Anang, guru olahraga kelasku datang dengan peluit kuning yang dikalungkan di lehernya. Lelaki berumur awal tiga puluhan itu meniupnya beberapa kali, sebagai isyarat bahwa kami harus bekumpul. Kulihat segerombolan laki-laki bersuara gaduh mulai memasuki area lari. Aku tersadar, jadwal olahraga kelasku dengan Rean bersamaan.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang