11• Renjana

186 27 4
                                    

renjana/ren·ja·na/ n rasa hati yang kuat (rindu, cinta kasih, berahi, dan sebagainya)
-KBBI-

Aku menuntun nenek berjalan meninggalkan tempat reparasi fisik manusia ini.

Langit turut prihatin melalui sendunya, kemudian hujan turun cukup deras. Bau tanah dan aspal basah menguar menusuk hidung. Jenis aroma yang paling kusukai di dunia ini sebelum bau kopi. Kami berhenti sejenak di teras rumah sakit tepat di bagian paling bawah tangga yang keramiknya sudah basah karena cipratan rintik hujan. Hal yang sama terjadi pula pada sepatu dan ujung jeans hitam yang kugunakan.

"Waduh, hujan nih Nek. Nenek gak bawa payung kan?" Tanyaku sambil tersenyum padanya. "Kita pake Grab aja ya. Ayo tunggu di sana sebentar. Nanti Nenek capek kalau berdiri terus." Kataku pada nenek setelah menekan beberapa menu di ponsel.

Nenek memandangku nanar. Jenis pandangan yang menyiratkan kesedihannya dengan sangat jelas, dalam cara yang menggores luka di hatiku.

"Jangan gitu dong, Nek. Rean gak papa kok. Rean baik-baik aja." Kataku mencoba menghibur nenek. "Lihat Nek, Rean masih bisa jalan dengan baik. Rean masih bisa hidup Nek. Jangan sedih ya? Lagipula itu tadi kan cuma diagnosis dokter, gimana aku nantinya masih ada di tangan Allah, Nek."

Namun nenek merengkuhku dalam peluknya. Wanita berambut pendek itu menepuk bahuku dengan lembut beberapa kali. "Bagaimana kamu bisa tersenyum di saat seperti ini? Bagaimana Nenek bisa bahagia kalau Rean menghadapi ini?"

"Maafkan Nenek, Re." Isikan itu mulai terdengar.

"Kenapa Nenek minta maaf? Ini bukan salah Nenek, jangan pernah minta maaf sama Rean. Harusnya Rean yang minta maaf ke Nenek karena selalu negerepotin. Maaf, Nek." Aku mulai bersandar di pelukannya.

"Kamu anak yang baik Rean. Nenek gak ngerti kenapa kamu harus menanggung beban seberat ini di usia muda? Kenapa bukan anak-anak lain yang lebih pantas mendapatkannya. Kamu bahkan masih belum selesai merajut mimpimu. Masih sangat banyak hal yang belum kamu lakukan. Bagaimana kamu bisa-" Suaranya tercekat.

Aku menggeleng. Udara dingin yang beradu dengan derasnya hujan dan mendung membuat atmosfer di sekitar kami membiru. Aku larut di dalamnya.

"Sekarang bahkan, kamu tidak boleh berenang lagi. Nenek tahu benar, renang adalah hidup kamu. Maafkan Nenek. Nenek tidak membesarkanmu dengan baik, sampai kamu harus menghadapi ini. Nenek berusaha keras agar kamu tidak merasa ditinggalkan oleh orang tuamu yang hanya memikirkan uang. Bahkan hingga di saat terakhir hidupnya, ayahmu hanya memikirkan uang. Lalu sekarang ibu kamu pergi jauh demi uang. Tapi nyatanya Nenek tidak lebih baik dari mereka."

Aku tidak pernah ingin membahas ini. Tanpa dikatakan pun aku tahu. Bahwa kehadiranku di dunia tidak benar-benar diinginkan. Ayah dan ibu hanya menikah sebagai formalitas agar tidak tampak aneh di masyarakat. Mereka saling mencintai. Namun mereka hanya ingin berdua, tanpaku. Tanpa persiapan matang. Karena itu mereka sangat terobsesi mengumpulkan uang. Namun hal itu membuatku merasa sangat tidak diinginkan. Aku berusaha hidup dengan baik untuk nenek.

"Nenek tahu kamu sangat terluka. Kalau ingin menangis, gak papa Rean. Menangis saja. Jangan kamu pendam perasaan itu."

Air mata yang sudah menumpuk membuat pandanganku buram. Tapi aku menahannya sekuat mungkin agar tidak sampai jatuh.

"Rean gak papa, Nek. Rean bisa ngehadapin ini. Kan ada Nenek. Gimana Rean gak bisa? Rean punya Nenek dan Allah. Rean gak bisa minta yang lebih baik lagi dari ini. Jadi, jangan menyerah untuk Rean, Nek."

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang