16• Kekangan

177 32 3
                                    

Esok hariku berjalan biasa setelah malam itu.

Sekolah, pulang ke rumah, dan kerja paruh waktu terus berulang-ulang. Meski begitu, beberapa kalimat dalam percakapan antara aku dan Rean masih seringkali terngiang. Membuatku tersenyum tanpa sadar dan bisa meningkatkan suasana hatiku dalam sekejap. Ya, benar. Aku pasti sudah gila.

Bu Desti baru saja memberikan informasi tentang event musik yang akan diadakan dua minggu lagi. Aku bilang iya saat wanita itu menanyakan apakah aku bersedia bergabung. Bagiku sangat menyenangkan untuk mengungkapkan talentamu. Padahal sebelumnya aku sangat kekeh untuk menyembunyikannya. Setelah kupikir-pikir, aku hanya terlalu takut untuk keluar dari zona nyaman.

Sesampainya di rumah, kuletakkan tasku di kasur dan langsung menuju dapur. Aku sangat butuh air untuk membasahi kerongkonganku. Namun kehadiran ayah yang keluar dari kamarnya lalu duduk di meja makan, rupanya cukup mengejutkanku. Ia terlihat lelah serta kacau dengan rambut berantakan. Matanya sayu, ia menyingsingkan lengan kemeja putih yang digunakannya sebatas siku.

"Ayah kapan pulangnya?" Tanyaku sambil duduk di hadapannya.

"Hmm, barusan."

Sudah beberapa hari ayah tidak pulang. Aku tahu ayah sibuk. Ia adalah walikota  di tempatku tinggal. Tapi meskipun aku sudah mengerahkan semua tenaga untuk mengerti. Entah kenapa aku masih sedikit kecewa.

Terutama sejak ibu dan Violet pergi dari rumah. Tempat yang semula tenang namun hangat, seperti sinar mentari pagi. Mendadak menjadi sangat sepi, sunyi, dan bungkam. Bukan tipe suasana yang akan kau sukai.

"Mau  dibuatin kopi?"

"Iya," Ayah melepas jam tangan yang ia gunakan. Meletakkan benda itu di meja, "gulanya dua sendok."

Aku mengangguk. Senyum tipis terukir di wajahku dalam tundukan. Bahkan ayah tidak bertanya apapun padaku. Padahal aku sudah mengatakan tentang festival musik itu. Aku menyemangati diriku sendiri, perjuangan masih panjang.

Selesai menghidangkan kopinya aku segera berganti baju dan menuju ruang keluarga.

Jam menunjukkan pukul enam sore. Masih ada waktu yang tersisa untuk belajar selama beberapa jam. Kutarik napas dalam-dalam dan mulai memainkan laguku diiringi piano yang terletak di ruang ini. Aku harus berlatih, setidaknya permainanku harus meningkat. Karena event depan adalah kompetisi.

Entah aku yang terlalu hanyut dalam lagu atau ayah yang bergerak sangat lembut. Saat laguku selesai, ayah sudah duduk di sofa samping kiri piano. Tangannya memegang secangkir kopi yang kubuatkan.

"Ayah gak pernah dengar lagu itu." Katanya.

"Ini lagu yang Scarlet nyanyiin di festival musik."

"Oh iya. Ayah dengar dari Pak Jo, katanya kamu nyanyi bagus."

Aku tersenyum. Pak Jo, sekretaris  ayah memang selalu  baik. "Di backstage Scarlet sempet lihat ayah."

Ayah menyeruput kopinya. "Kamu masih ikut ekskul musik?"

Pria itu meletakkan cangkirnya.

"Ayah menyesal membiarkan kamu ikut les piano dulu, kalau saja tidak Ayah izinkan, kamu pasti tidak sejauh ini."

Aku tidak suka saat soal ini dibahas lagi dan lagi. Ayah memang tidak pernah setuju untuk kegiatan diluar akademik seperti musik. Baginya semua itu hanyalah halangan. Terutama jika ada kejadian yang berhubungan dengan kegagalan di suatu bidang, entah itu siapapun, maka ayah akan membandingkannya dengan aku. Ekstra musikku.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang