Maybe the sun will explode and the moon will fly out of orbit. Maybe I will burn so fast there won't even be time for me to think of you once more.
-Clementine von Radicts[]
Di bawah hangat sinar mentari hari itu kutantang langit senja yang berwarna merah muda dengan semburat kuning sembari berlari sekuat tenaga. Terlampau dungu dan hilang asa, mengejar ujungnya yang tak mungkin tergapai dengan langkah gontaiku. Marah, emosi menggebu terbakar. Ingin mengutuk semesta dengan sumpah serapah.
Napasku terengah-engah, beberapa kali aku terjatuh hingga lututku luka tergores aspal. Tidak papa, berdarah dan perih, kuabaikan. Demi apapun asal tiba ke tempat itu secepat mungkin. Tempat yang mengawali semua kisah ini.
Benteng peninggalan pemerintah kolonial Belanda di puncak bukit. Ya, sebersejarah-lah tempat itu bagiku seperti namanya yang seolah bisa dikuak satu-satu. Tempat terindah untuk melihat matahari terbenam, yang aku tahu setelah Pantai Kute di Bali. Momentum euphoria senja pertamaku.
Aku ingin memperbaiki semua kekacauan yang kubuat. Tapi aku terlambat menyadari. Jika aku diam saja dan tidak datang ke sini hari itu, mungkin tidak akan ada luka baik untukmu, aku, maupun orang-orang di sekitar kita.
Senja begitu indah. Tapi ia penuh omong kosong. Senja tak punya hati. Ia merekahkan senyum diantara derai air mataku. Sakit. Jauh di dalam sana. Begitu perih.
"Maaf...,"
Aku yang sendirian mengira semua hal tentangmu. Sebuah realitas menyakitkan, buah dari ekspektasi di awang-awang.
"Jangan minta maaf dan jangan biarkan air mata kamu jatuh atau aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri lebih dari ini. "
"Kamu tidak salah. Kita tidak seharusnya begini. "
"Masa depan kamu masih panjang. Raih mimpi kamu dan berusaha. Aku bantu doa. "
Bugh...
Aku terjatuh. Kakiku lemah, tulang-tulangnya luruh. Namun tetap lebih rapuh hatiku.
"Kamu harus belajar melepaskan. Supaya bisa jadi wanita yang lebih kuat kedepannya. "
Sia-sia saja semuanya. Mengumpat pun aku tak bisa. Langit mulai gelap. Senja telah pergi. Kamu sama seperti senja yang dipuja jutaan manusia. Katanya indah. Memang. Tapi sementara.
Hari ini tak lebih dari bualan yang enggan kupercayai. Mungkin banyak orang yang menemukan kebahagiaannya hari ini. Tapi dengan teriak batinku. Aku mengutuk hari ini. Aku masih berharap hari ini adalah mimpi buruk yang suatu saat aku bisa terbangun dengan derai air mata namun sadar semua hanya bunga tidur. Tapi kenyataan tidak selucu itu.
"Rean, "
Lidahku kelu, seolah tidak mampu menyebut namamu lagi. Padahal kamu yang memberi secercah kehangatan di kutubku. Sesuatu memanipulasi diriku hingga satu-satunya hal yang dapat kudengungkan adalah namamu. Maafkan aku.
"Scarlet, jaga diri baik-baik." katanya sambil tersenyum.
Tapi sepertinya aku telah salah menilai, kalau memang benar-artinya aku tidak berduka sendiri. Sebab merahnya senja bisa juga bukan senyum merona, mungkin ia adalah lautan perasaan yang terbakar lalu berdarah habis-habisan.
Sayangnya, manusia yang mengenalkanku pada indahnya senja, akhirnya pergi juga bersama dengan tenggelamnya matahari. Meninggalkan aku di sini.
Sendiri.
Dan dengan cara yang entah mengapa tidak ingin kumengerti, aku benci.
_____
Hello I'm back with new story hehe 💜😆
Pendek ya? Iya dong hehe kita warming up dulu lah sebelum masuk dan hanyut dalam Within. Tell me who's exited for the next part? Lett me know hehe;))
Jadi di sini aku mau jelasin kalau Within ini alurnya mundur. Keseluruhan cerita nanti ujungnya adalah kejadian di prolog ini.
Akhirnya bisa posting cerita ini setelah idenya terus-terusan muncul di kepala dan terbengkalai di draft.
I'm so excited.
Gimana menurut kalian?
Selamat liburan wuwhhuuuuu.
Ok?/!
Jangan lupa vote+komen💜
Withluv
Anggun
KAMU SEDANG MEMBACA
Within
Teen FictionNamanya Scarlett. Dia bukanlah gadis yang akan muncul pertama kali di ingatanmu ketika kau mengenang masa lalu. Bukan yang jadi primadona. Tidak juga tipe yang bikin kamu kesal mengingatnya. Scarlett pendiam, tak memberi kesan apapun sehingga ia ham...