35• Berdentum

212 28 10
                                        

"Kankernya sudah menyebar sampai ke paru-paru." buka nenek yang membuat lelaki muda dihadapannya terhenyak, sejenak merasa sedih, kecewa, marah, dan didominasi oleh rasa gagal menjadi seorang sahabat yang baik.

Pada akhirnya Rean memang pemendam ulung. Satu diantara yang terhebat. "Ka-kanker apa, Nek?"

"Kamu tahu kan belakangan kaki Rean sakit, ada benjolan yang semakin besar tiap harinya. Sampai bikin susah jalan. Waktu Nenek paksa Rean buat periksa dan dia mau, dokter bilang itu, Rean kena kanker tulang, Jul." wanita itu kembali meneteskan air matanya mengingat kejadian dimana hujan turun deras mengiringi hari kelam yang amat mencekam.

Ia terbata, tergesa, dan terlampau sakit untuk menerima kenyataan. "Nenek sangat takut, tapi kamu juga tahu, Rean itu paling tidak suka merepotkan dan bikir khawatir orang-orang disekitarnya. Rean selalu bilang ke Nenek, kalau dia baik-baik saja dan akan selalu begitu. Padahal perasaan dia sendiri jauh lebih hancur." Nenek mengambil jeda sejenak. "Mimpinya masih panjang, Jul. Belum sempat mencapai langit tinggi."

Julius menunduk mendongakkan kepala menatap plafon putih kotak-kotak diatasnya sembari berkedip untuk beberapa saat, mencoba menghalau tetesan air asin yang akan jatuh. Ia memang payah. Begitu cengeng sebagai seorang lelaki. Julius memang bukan Rean yang pandai menyembunyikan hal berat sampai akhir.

"Rean punya mimpi tinggi, Jul. Dia sudah mengorbankan seluruh hidupnya untuk renang. Masa kanak-kanaknya tidak ada permainan yang ringan dan menyenangkan, melainkan persaingan ketat. Dia cuma ingin satu, menjadi atlet yang mengharumkan nama bangsanya dan orang tuanya. Tapi perjuangannya belum selesai, ayahnya sudah meninggalkan dia. Rean harus merelakan mimpinya masuk sekolah atlet, keluargaku bukan apa-apa tanpa ayahnya Rean, sekolah atlet itu mahal sekali. Nenek menyesal, kenapa waktu itu tidak Nenek biarkan saja Rean masuk ke sekolah atlet dan malah menyetujui keinginan ibunya supaya Rean masuk ke sekolah umum. Nenek menyesal."

"Sekarang pun ibunya seperti hilang, pergi begitu jauh dan belum kembali. Mungkin Rean kelihatan bahagia tapi Nenek tahu betul dia memikirkannya. Lalu kanker itu datang, merenggut satu-satunya hal yang Rean punya. Dia tidak mungkin terus berenang atau kondisinya akan makin buruk. Rean selalu bilang kalau biaya untuk pengobatan kanker itu mahal, akan lebih baik kalau ia tidak menjalankan serangkaian terapi. Bahkan Rean bilang untuk merahasiakannya."

Julius memeluk lutut nenek yang duduk di kursi depan ruangan tempat Rean terbaring, menghiasi koridor yang hening dengan isakan diirngi gema pada langit-langit ruangan. Lelaki itu merosot ke lantai.

"Sekarang pun, hak Rean untuk bernapas dengan lancar sudah direnggut, Jul. Apalagi yang tersisa dari anak itu? Nenek harus bagaimana? Rean pasti kesakitan, tapi Nenek tidak bisa melakukan apa-apa. Nenek tidak bisa membayangkan bagaimana hidup Nenek tanpa Rean. Lebih baik Nenek yang menggantikan Rean. Apa salah Nenek sampai Rean harus menanggung beban seberat ini di saat dia seharusnya bersenang-senang dengan kawannya menikmati masa remaja. Hidup tidak adil, Jul. Kemana Tuhan? Dosa sebesar apa yang sudah kubuat, Tuhan? Jangan bebani cucuku, ambil saja aku sebagai gantinya."

Julius tersedu, "jangan, jangan ngomong gitu, Nek. Kita doakan saja supaya Rean cepat sembuh sembari mengusahakan segala yang mungkin."

Tapi wanita itu menggeleng, "tidak Jul, jangan didoakan sembuh, doakan saja supaya tidak menyebar."

_____

Hujan turun lagi, tidak cukup deras memang. Tapi sudah lebih dari cukup untuk memberitahukan dunia bahwa seseorang sedang berduka di bawah mendung kelabu pekat ini. Rumah begitu sepi, Violet sudah memulai kegiatan perkuliahannya di luar kota sejak aku naik ke kelas dua belas, setelah berhenti selama setahun. Ibu pun sibuk dengan kegiatannya. Belakangan ia sering pulang larut. Hampir sama larutnya dengan ayah.

Jendela kaca besar dihadapanku menampakkan rintik yang beradu dengan teratur. Aku sedih hari ini karena mendung begitu kelam. Seolah menyiratkan ini memang hari yang patut ditangisi. Pianoku pun tampak muram. Perlahan meski enggan, tetap kumainkan salah satu lagu yang dinyanyikan Rean di ruang musik saat itu, Beautiful People-Lana Del Ray. Lelaki itu bilang padaku, kalau Lana Del Ray adalah orang yang paling ingin ia temui di bumi ini.

But we just beautiful people with beautiful problems.

Ya, sesuka itulah Rean padanya.

"Katanya gak suka musik. " kataku padanya setelah ia bilang begitu mencintai Lana Del Ray.

Rean menjawab cepat, "Gue kan sukanya sama Lana Del Ray. "

Entah, entah, dan entah. Bagiku begitu sulit mendeskripsikan betapa istimewanya lelaki itu. Hari ini ia mengalami hal yang amat berat. Rean jatuh pingsan, ia begitu pucat dan hampir biru. Tangannya terluka, ada darah yang tercetak di sana. Matanya terpejam rapat hingga aku benar-benar tak bisa menerka. Seolah, ia hilang.

Beautiful problems, God know we've got them.

Aku ingin mengunjunginya malam nanti dengan Jenar beserta Elshe dan Robin. Mengingat siang tadi Julius tak mengijinkanku ikut bersamanya. Selain itu, belakangan kami juga begitu jarang bersama. Kesibukan duniawi benar-benar membelenggu.

Tiba-tiba saja, aku merasa seseorang memelukku dari belakang. Membuyarkan lamunan panjang ini. Aku terkejut, hampir tak bisa bernapas hingga jantungku berdegub kencang. Aku menoleh sedikit ke arah kiri dan mendapati Jenar sudah bersandar di bahuku.

But we gotta try, every day and night.

"Loh, kenapa hey?" Jenar tak mengindahkan pertanyaanku, ia masih diam. Hingga kurasa pundakku mulai basah dan terdengar suara isakan dari Jenar.

"Orang tua gue bangsat, anjing!" umpatan lolos dari bibirnya dengan begitu pelan diiringi suara sesegukan. Sisi Jenar yang tak pernah kulihat dan kuharap ini adalah kali terakhir ku melihatnya.

Aku membelalakan mata lalu memintanya duduk di kursi yang kutempati. "Ada apa?" ucapku tak kalah pelan darinya.

Selama ini Jenar tak pernah membicarakan mengapa ia tinggal di panti asuhan, apalagi hal-hal terkait orang tuanya. Aku pun tak pernah berasumsi perihal itu. Hanya saja, sedekat apapun hubungan yang terjalin, masing-masing individu punya hal pribadi untuk dijaga.

"Orang bangsat itu yang ternyata masih hidup di dunia ini. Mau ngambil gue dari Bu Sur. Orang tua macam apa yang nitipin anaknya ke panti asuhan dan ngambil lagi waktu udah gede tanpa pernah peduli gimana anaknya di sana, masih hidup atau mati. Datang pun gak pernah. Sebenci-bencinya gue sama diri gue sendiri, orang tua gue yang nempatin posisi pertama buat itu. Bilang ke gue maksudnya apa, Let? Apa mereka gak mau gedein gue? Apa mereka mau cari enaknya aja? Atau emang gue yang salah dan harus nurut supaya gak dibilang anak durhaka setelah semua kesulitan yang udah gue lalui sendiri? Setelah gue dibilang anak buangan sama orang-orang, anak haram, anak yang bahkan enggak diinginkan orang tuanya sendiri? Gue bahkan gak tahu, apa gue masih punya mereka selama ini. Gi, gimana? Gue harus apa?"

Aku memeluk Jenar dengan erat. Bahunya bergetar. Ia menangis keras hari itu bersamaan dengan langit yang menumpahkan emosinya.

"Dan lo tahu apa yang paling bikin gue kesel? Ternyata mereka itu bokap-nyokapnya Julius."

Aku ikut terjatuh hari itu, lalu Jenar menangis lebih keras. Aku ikut jatuh bersamanya, tersesat ke dalam lautan air mata. Bagaimana dunia bisa sekejam ini pada individu sebaik Jenar. Semesta benar-benar kacau, tega dan berhati dingin sekali. 

Jenar hanya pernah mencintai seorang lelaki, dan itu adalah Julius. Tapi sekarang cintanya harus dikorbankan. Bukan keharusan untuk melepas, tapi Jenar ingin mencintai Julius seperti selayaknya laki-laki dengan perempuan, bukan sebagai saudara.

Dan yang paling menyiksa gadis itu adalah, betapa seringnya Julius bilang kalau orang tuanya benar-benar memberikan segalanya untuknya hingga ia bisa sebesar sekarang.

Jenar yang dibuang dan diterlantarkan kini diminta untuk kembali dalam timangan setelah tujuh belas tahun hidup diluar cengkeraman dengan badai dan kedinginan tanpa perlindungan.

_____

I said like ooo...ooh...ououou....

Gimana nih tinggal 5 part lagi menuju ending

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang