17• Rehat

180 29 3
                                    

Langkah berat membimbingku berjalan menghadapi takdir.

Setelah menghabiskan waktu meratap melalui malam panjang yang hening sekaligus penuh kekalutan selama berhari-hari, aku akhirnya tiba di saat ini juga. Jenar menepuk bahuku dari belakang. Bermaksud memberikan semangat untukku.

"Mau aku temenin?"

Aku menggeleng, tanpa berusaha untuk tersenyum.

"Tungguin sini?" tanyanya lagi.

"Kamu duluan aja, entar dimarahin pelatih kalau datang telat."

Ia mengangguk. "Nanti malem aku ke rumahmu bareng Elshe sama Robin."

Lalu gadis dengan hoodie putih dan rambut panjang bergelombang yang terurai itu pergi. Aku sudah bercerita padanya sejak hari dimana ayah menyuruhku keluar dari ekstrakurikuler yang sudah melekat di kulitku ini.

Jenar merangkulku dalam duka. Caranya untuk melegakan aku tanpa hiburan kata; semuanya baik-baik saja, yang sabar atau aku mengerti. Ia membawaku pada realitas menyakitkan yang tengah kuhadapi dan aku merasa ringan setelahnya, meski sebagian dari diriku masih belum mau.

Lesu membukakan pintu ke ruangan ekstrakurikuler musik, langkahku pelan sambil mengedarkan pandangan. Atmosfer yang menyambutku masih sama seperti biasanya, penuh antusiasme sekaligus hangat. Bahkan hasrat akan musik dapat tercium jelas. Tapi kali ini berbeda.

Meskipun ruangan ini masih ramah dan tersenyum menyambutku, tapi aku biru. Di tanganku ada map cokelat yang berisi surat pengunduran diri.

Sudah seminggu aku tidak hadir. Beberapa orang menanyaiku alasannya tapi aku masih belum sanggup untuk memikirkan jawaban yang tepat selain diam. Beberapa yang lain bertanya kenapa aku nampak muram.

Bu Desti, pembimbing kami sedang duduk di kursi dan menggunakan ponsel, ketika aku berjalan ke arahnya. Wajah ramah itu menyambutku.

"Gimana, Scarlet?"

Melihat senyum hangat dan suara lembutnya yang amat sangat aku sukai membuatku tidak mampu mengatakan mantra yang sudah aku hafalkan sejak beberapa hari lalu.

Bu maaf saya mengundurkan diri dari ekstrakurikuler musik.

Pada akhirnya aku tidak mampu berkata-kata. Hanya kuserahkan map itu sembari menunduk mengamati ujung sepatuku.

Bu Desti tampak bingung, tapi belum ada kerutan di dahinya hingga surat pengunduran diri itu selesai dibacanya. Ia menatapku penuh tanya dan lekat akan kekecewaan. Tapi Bu Desti masih tidak bertanya. Seolah menunggu penjelasanku.

Sedangkan aku tidak mampu membuka mulut. Ini adalah keputusan yang sangat berat. Separuh hidupku ada di sini, dan aku harus meninggalkannya kini.

"Maaf, Bu."

Air mataku tumpah saat itu juga. Semua mata di sini menatap kami. Termasuk Julius. Tapi aku terlalu pengecut untuk menghadapinya. Jadi aku hanya bersembunyi di balik pelukan Bu Desti, sembari menyembunyikan wajahku dari tatapan yang lain.

Meski begitu, samar aku masih dapat melihat wajah-wajah itu. Penuh akan tanya sekaligus asumsi dan seolah tidak menyangka aku akan mengambil keputusan ini. Aku sedikit takut tentang apa yang ada di pikiran mereka. Tatapan yang menyembunyikan intensi lain selain kecewa.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang