19• Abai

142 26 2
                                    

Kami sudah sepakat untuk saling menunggu di taman dekat lapangan skateboard.

Rean bilang ia akan tiba pukul tujuh. Tapi aku sudah terjaga semalaman dan bersiap terlampau pagi. Kutatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku untuk kesekian kalinya, masih kurang setengah jam.

Kuputuskan untuk mampir ke museum yang ada tepat di sebelah barat taman. Tentu saja tempat ini belum buka. Aku hanya ingin mencari koneksi internet gratis yang cepat dan duduk dengan nyaman. Museum menawarkan atmosfer yang relatif lebih tenang daripada taman.

Mungkin orang-orang terlalu malas mendekati museum, yang lekat akan kesan membosankan. Padahal tidak begitu, bagiku museum bukanlah tempat yang akan membuatmu menguap dalam beberapa menit.

Setelah memperbaharui beberapa aplikasi, aku melangkahkan kaki pergi, tapi

"Dor!" Seseorang mengejutkanku dari belakang.

Aku refleks berbalik dan mundur beberapa langkah. Kumenghela napas panjang sembari mengelus dada dan terpejam sesaat.

"Kamu ngapain sih? Gak seru tau!"

Rean balas dengan cengirannya yang khas dan terlihat ratusan kali lebih menyebalkan di mataku hari ini. "Ehehehhehe, maaf. Kaget ya? Kaget banget?"

Aku memilih untuk mendiamkannya kali ini. Namun lelaki itu meraih sesuatu di sisi kanan tasnya, botol minum. Ia memberikan tabung bening berisi air mineral dengan tutup berwarna biru itu padaku.

"Nih," katanya.

Aku menerimanya ragu-ragu.

"Minum aja biar mendingan."

Rean menatapku, hampir membuat aku tersedak. Untung saja tidak jadi. Setelah selesai membasahi kerongkongan yang tidak haus, kukembalikan botol minum miliknya.

"Udah?"

Aku mengangguk, "makasih."

Ia tertawa. "Jadi mau dikagetin lagi?"

"Enggak lah."

"Kok makasih."

"Buat airnya."

Biar bagaimanapun, air yang diberikannya memang memberikan efek menenangkan bagiku. Meskipun tak bisa ditampik, penyebab sensasi kejut di jantungku adalah ulahnya.

"Gak usah lah." Katanya sambil berlalu mendahuluiku. "Ayo."

"Kita jadi kemana?" Kuikuti langkah kaki panjang yang cepat itu. "Aku gak bagus dalam aktivitas fisik, sebenarnya."

"Bisa renang gak tapi?"

"Enggak."

"Bagus, gue ajarin sampe bisa."

Kami sudah mendiskusikan hal ini melalui pesan singkat kemarin. Rean bilang ingin pergi renang dan aku mengiyakan saja karena tidak tahu apa yang lebih baik dari itu.

Rean kemudian mengambil sepeda yang, terparkir tidak jauh dari tempat kami bertemu lalu menaikinya.

"Ayo."

"Naik? Boncengan?"

"Iya dong. Emang mau jalan?" lelaki itu menatapku. "Aman kok. Udah ada boncengannya juga."

Sepeda gunung putih dengan boncengan modifikasi itu sempat membuatku enggan. Tapi akhirnya aku tetap menuruti ajakan Rean. Ketimbang harus berjalan kaki menuju tempat Rean biasa berenang, Garuda Indonesia.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang