23• Fakta

148 24 3
                                    

Ujian sudah selesai dua hari lalu.

Tak banyak yang bisa dilakukan siswa di sekolah. Rata-rata hanya akan tidur ria di bangku atau pojok belakang kelas hingga bel pulang tiba, beberapa diantaranya meminta remidi, jelajah kuliner kantin, menonton film, memainkan game dan bergosip tentunya.

"Kok wifinya lemot banget sih!" seru Najwa dengan wajah cemberutnya yang tampak menggemaskan.

"Tuh, lihat!" Jenar mengarahkan dagunya pada siswa lain yang sibuk dengan ponselnya. "Pakai kuota dong. Masa anak muda gak punya paket data?"

"Niatnya sih mau hemat, taunya udah keduluan yang lain. Susah emang, padahal di sini gue juga bayar SPP."

"Siapa gercep ia dapat."

"Hahaha... Scarlet lo bawa hp gak?"

"Ada, ni." kuserahkan benda persegi itu pada Najwa.

"Gue mau foto, kamera lo kan bagus."

"Sa ae."

"Eh ayo, entar gue instastoryin. "

Saat aku tengah berpose ria, seseorang yang melintas di luar kelas menarik atensiku. Melalui kaca jendela yang bersih pagi itu, Rean tampak lebih segar dari saat terakhir kali aku melihatnya. Tubuhnya dibalut jaket jeans donker dengan beberapa detail yang simbolis.

Aku segera bangkit. Tergerak menghampirinya.

"Eh, kemana?" tanya Najwa. "Hp nya?"

"Pakai aja dulu."

Segera kuikuti langkah Rean tapi tak terkejar karena ia amat cepat. Kupanggil ia, tapi tak kunjung menoleh. Aku tidak yakin apa Rean benar-benar tak mendengar atau sekadar abai.

Lelaki itu berbelok melalui koridor menuju perpustakaan.

"Rean!" panggilku jauh lebih keras dari sebelumnya.

Pertemuan terakhir kami memang tidak berjalan baik. Aku sudah mencoba menghubungi lelaki itu tapi tidak bisa. Ia bilang kalau ponselnya dijual. Tapi aku masih tidak mempercayainya. Rean berhenti lalu menoleh. Sisi kiri wajahnya tampak tegas dan kokoh.

Ia mengangkat dagu, pandangannya masih dingin. Aku termenung. Kemana senyumnya? Dua detik kemudian lelaki itu berlalu, samar aku dapat melihatnya bergabung dengan siswa dari kelas 12 IPA 5 yang terkenal badung dan menjadi basis genk pemberontak sekolah. Anehnya mereka tampak akrab seperti saudara.

Aku mundur beberapa langkah, mendapati Rean menatapku dari jauh. Kemudian diputuskannya kontak mata singkat itu. Aku tidak mengerti. Ia berubah drastis dari Rean di sudut pandangku.

-----

Cukup banyak hal yang harus kuurus setelah kembali masuk sekolah. Kali ini aku berangkat tanpa Julius, kejadian hari itu saat ia, Scarlet, dan Jenar menjengukku membuat hubungan diantara kami merenggang.

Sesampainya di sekolah aku sengaja menghampiri rekanku dari kelas lain, namanya Dino. Biasanya ia akan mangkal di ujung koridor kamar mandi yang berdekatan dengan pohon matoa. Tapi seruan yang amat familiar menghentikanku. Scarlet, raut wajahnya tampak ingin mengajukan banyak pertanyaan.

Sedangkan aku tak ingin menjelaskan apapun.

Setelahnya aku pergi ke BK untuk mengantarkan surat dokter susulan karena tidak masuk satu minggu lebih. Bukannya membaca surat yang kuantar, aku malah langsung diwawancarai.

"Sakit apa kamu?" tanya Bu Nurul, guru BK kelas dua belas yang pribadinya amat tegas.

"Gejala tifus, Bu." jawabku asal dengan mimik meyakinkan.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang