2• Warna senja itu namanya

415 44 20
                                    

Sore ini akan sangat panjang.

Aku mendapat firasat itu pagi tadi, dalam perjalanan berangkat sekolah. Intuisiku cukup sensitif. Karenanya hal-hal sering terjadi tepat seperti bayanganku.

"Beliin siomay dulu di depan deh dua." Jenar memberikan uangnya padaku.

Sementara ia berganti baju, menggunakan atasan putih bersabuk merah dan bawahan hitam longgar. Seragam kebanggaan suatu perguruan pencak silat ternama di Indonesia.

Koridor panjang sekolah yang belum terlalu sepi, menyambutku. Beberapa orang siswa masih berlalu-lalang. Padahal bel pulang sudah berdering kurang lebih tiga puluh menit lalu. Hembusan angin menerpa rambutku yang terurai sepinggang. Mungkin akan terlihat berantakan tapi aku suka.

Beberapa orang tersenyum padaku. Sebagian besar dari mereka bukanlah orang yang kukenal. Aku juga tidak mengenal mereka. Tapi memang sudah jadi tradisi di sini untuk selalu tersenyum dan bersikap ramah. Atau kau akan menjadi bahan gosip selama beberapa hari ke depan. Dan yang paling buruk kau akan diberi label sebagai orang yang sombong padahal mereka sama sekali tidak mengenalmu.

Jadi aku memilih untuk tersenyum saja.

Aku terbiasa hidup dalam kedamaian tanpa masalah berarti. Hal itu membuatku menjadi seorang peacekeeper, yang lebih suka disalahkan daripada terlibat konflik sekalipun aku memang benar. Namun kadangkala dari hati kecilku, aku menginginkan masalah yang akan memberikan arti kehidupan padaku. Aku ingin belajar banyak dari masalah itu.

"Kamu kenapa belum balik?" Tanya Fredi di depan ruang guru.

Kami bertemu ketika aku dalam perjalanan membeli siomay, ia tampak kepayahan jadi aku membantunya. Mengantarkan buku-buku yang cukup banyak itu ke ruang guru.

"Ada ekstra musik. Kamu sendiri?"

"Tadi waktu mau jalan ke parkiran ketemu sama Bu Irma turun dari mobil sambil bawa buku banyak. Terus hati kecil aku kayak manggil suruh bantuin."

Fredi berterimakasih dan pamit pulang.

"Aduh lama banget ngapain si?" Tanyanya langsung mencomot siomay yang kuletakkan di meja.

"Tadi ketemu Fredi bawa buku banyak."

"Terus?"

"Aku bantuin."

"Apaan si? Dia minta tolong ga?"

"Engga sih. Tapi kan dia teman SD aku yang masih komunikasi sampai sekarang."

"Jangan terlalu baik napa?"

Aku menggeleng, menyangkal pendapatnya. "Apa salahnya bantuin orang Jenar, coba bayangin kamu di posisi dia."

"Kalau kamu kasian terus, hati kamu lemah. Kamu bakal dimanfaatin terus sama orang. Jangan mau dimanfaatin."

Aku terdiam menyimak baik-baik apa yang dikatakan oleh Jenar. Apa selama ini aku dimanfaatkan? Apa berbuat baik itu salah? Mengapa aku berbuat baik namun orang-orang malah sebaliknya? Aku tidak mengharapkan balasan atas kebaikanku, tapi aku juga tidak ingin kebaikanku dimanfaatkan. Haruskah aku berubah menjadi orang lain? Menjadi jahat misalnya.

"Udah jam empat. Gue mau kumpul." Katanya lalu pergi.

Jenar adalah sahabat dekatku sejak sekolah menengah pertama. Gadis itu orang yang tomboy dan kuat. Ia mengikuti ekstrakulikuler pencak silat di sekolah yang diselenggarakan setiap hari Selasa dan Jumat, jadwal yang sama dengan ekstra musik yang kuikuti. Sehingga kami selalu pergi dan pulang ke sekolah bersama.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang