You'll find me in softest darkness, when the
earth is half-awake, when the air is still and
silent, and the dawn is yet to break.
-kjut.angel[]
Udara di pertengahan bulan Maret perlahan mulai dingin.
Sejak awal tahun, hujan memang belum turun sama sekali. Cuaca yang bisa diprediksi dengan mudah seperti ini, memberikan beberapa peruntungan bagi yang menginginkannya. Termasuk penyelenggara festival musik dan semua yang terlibat di dalam acara ini.
Setelah melakukan briefing untuk yang terakhir kali dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, masing-masing dari kami duduk di kursi yang disediakan di bagian belakang panggung.
Aku menghela napas berkali-kali sambil mengetukkan ujung sepatuku ke lantai kayu bongkar pasang yang dilapisi karpet ini. Kusatukan kedua telapak tanganku dan meremasnya, demi menghilangkan gugup. Tapi sepertinya cara itu tidak efektif. Jantungku masih berdegup kencang dan dapat kurasakan sensasi ingin buang air besar mendera perutku. Sial!
"Hei," seseorang menepuk bahuku dari belakang lalu duduk di kursi kosong sebelahku dengan gitar di punggungnya. "santai aja."
"Santai gimana coba," protesku pada Julius. "tadi aku lihat di depan banyak banget orangnya."
"Harus gitu sih. Event tahunan soalnya." Kali ini Julius menanggalkan kacamatanya.
Aku menggigit bibir bawahku. Terjebak dengan berbagai pemikiran negatif seperti bagaimana kalau lagu yang ku nyanyikan ternyata buruk, suaraku tak pantas di dengar, atau tiba-tiba mikrofon yang kugunakan mati. Mungkin saja aku terjatuh dari panggung diiringi sorakan penonton yang memalukan.
"Lihat aja nanti, jangan terlalu dipikirin. Ngebuat kesalahan itu wajar banget karena manusia emang gitu."
Sesaat setelah aku berhasil menenangkan diri, sang MC mengisyaratkan bahwa giliranku dan Julius sudah tiba. Lelaki itu mengangguk dan aku mengekorinya.
Suara tepuk tangan bersahutan setelah si pembawa acara mempersilakan kami. Kakiku sempat bergetar dan ragu, tapi aku tetap membawanya hingga sampai ke kursi yang sudah dilengkapi dengan standing mikrofon di depannya. Lautan manusia memandang ke arah kami.
Di tempat yang tinggi ini, aku dapat melihat mereka semua dengan jelas. Begitu pula sebaliknya. Aku takut, akan apa yang para mata itu pikirkan tentangku.
"Selamat malam semuanya!" Sapa Julius sangat lancar, dengan senyuman lebar.
Aku tidak bisa mengatakan apapun dan hanya diam mematung pada akhirnya. Jantungku seakan mau melompat keluar dari tempatnya. Terlebih ketika Julius mengatakan lagu yang akan kami nyanyikan adalah ciptaanku. Aku memaksakan senyum, menahan gugup sebisa mungkin. Semoga wajahku tidak terlihat konyol.
"Judulnya candala," katanya lagi.
Aku mencari diantara kerumunan orang yang tidak kukenal, hingga akhirnya kutemukan wajah Jenar, Elshe, dan Robin. Serta, Rean. Kalau dipikir-pikir sudah seminggu aku belum bicara ataupun bertemu dengannya. Padahal sangat banyak hal yang ingin kutanyakan tentang kejadian di kamar mandi, minggu lalu. Aku bahkan belum menceritakannya kepada Jenar ataupun Elshe, tidak juga Julius. Aku tidak ingin memulai spekulasi apapun. Tapi aku lega ia hadir kali ini.
Riuh tepuk tangan dengan sorak-sorai terdengar lagi ketika Julius menyelesaikan sambutan singkatnya. Hal itu menarikku kembali dari lamunan ke realita, bahwa sekarang, akhirnya aku berada di panggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Within
Teen FictionNamanya Scarlett. Dia bukanlah gadis yang akan muncul pertama kali di ingatanmu ketika kau mengenang masa lalu. Bukan yang jadi primadona. Tidak juga tipe yang bikin kamu kesal mengingatnya. Scarlett pendiam, tak memberi kesan apapun sehingga ia ham...